TopCareer.id – Biaya transportasi yang harus dikeluarkan masyarakat Indonesia sehari-hari jadi perbincangan.
Hasil Survei Biaya Hidup BPS tahun 2018 menunjukkan, pengeluaran transportasi atau jasa angkutan umum di Indonesia mencapai 12,46 persen dari total biaya hidup masyarakat.
Padahal, Bank Dunia telah memberikan standar pengeluaran ideal untuk transportasi seharusnya tidak melebihi 10 persen dari total penghasilan.
Berdasarkan data BPS tersebut, kota-kota penyangga ibu kota seperti Bekasi dan Depok menanggung beban biaya transportasi paling berat.
Rata-rata pengeluaran transportasi bulanan di Bekasi mencapai Rp 1,9 juta, diikuti Depok Rp 1,8 juta, Surabaya Rp 1,6 juta, Jakarta Rp 1,59 juta, dan Bogor Rp 1,2 juta.
Kota-kota lain seperti Batam, Makassar, Jayapura, hingga Balikpapan juga tercatat memiliki biaya transportasi yang tinggi, yaitu di kisaran antara Rp 900 ribu hingga Rp 1,1 juta per bulan.
Baca Juga: Naik 35 Persen, Pengguna Commuter Line Jabodetabek Capai 180 Juta di Awal 2025
Andi Iwan Darmawan Aras, Wakil Ketua Komisi V DPR RI pun menilai, tingginya ongkos transportasi di kota-kota besar adalah dampak dari belum terbangunnya sistem transportasi umum yang terintegrasi dan efisien.
“Masalah ini tidak bisa diatasi dengan pendekatan sektoral yang terpisah-pisah,” kata Andi dikutip dari keterangan tertulisnya, Senin (11/8/2025).
Ia menegaskan, pemerintah harus mendesain ulang sistem integrasi moda transportasi secara sistemik, serta berdasarkan kebutuhan pengguna.
Selain itu, diperlukan juga pemetaan jalur first mile dan last mile secara menyeluruh.
Iwan Aras juga mengatakan perlu dipastikan keterhubungan antara moda pengumpan dan moda utama, dalam satu sistem yang ramah bagi pengguna, serta dengan harga yang terjangkau.
“Yang tidak kalah penting adalah memastikan moda pengumpan dan moda utama benar-benar terhubung dalam satu sistem yang ramah pengguna, mudah diakses, dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat,” ujarnya.
Baca Juga: Pakai Bus Listrik, Transjabodetabek Blok M-Ancol Resmi Beroperasi
Pemerintah daerah juga didorong untuk memperkuat perannya dalam perencanaan transportasi lintas kawasan, termasuk sinergi antar kementerian dan BUMN transportasi.
“Subsidi transportasi sebaiknya tidak hanya difokuskan pada tarif utama seperti kereta atau BRT (Bus Rapid Transit), tetapi juga mencakup biaya akses ke dan dari moda tersebut agar ekosistem transportasi menjadi lebih inklusif,” kata Iwan.
Ia pun menegaskan, reformasi transportasi harus dilakukan dan tak hanya terbatas pada pembangunan fisik.
“Kami ingin memastikan transformasi juga terjadi dalam aspek layanan, dengan berbasis data dan menjawab kebutuhan nyata masyarakat,” Iwan menegaskan.
“Pemerintah pastinya telah memikirkan berbagai upaya intervensi untuk memastikan pelayanan moda transportasi bagi masyarakat semakin lebih baik dari waktu ke waktu,” pungkasnya.