TopCareerID

Kerap Dialami Mahasiswa Saat Ini, Apa Itu Duck Syndrome?

Ilustrasi mahasiswa. (Alexa/Pixabay)

TopCareer.idDuck syndrome sering dialami mahasiswa yang terlihat tenang di luar, padahal sebenarnya ia sedang berjuang menghadapi tekanan batin.

Istilah ini diambil dari metafora seekor bebek yang terlihat anggun mengapung di permukaan air, namun di bawahnya ia mengayuh dengan panik agar tidak tenggelam.

Menurut Anisa Yuliandri, psikolog dari Career and Student Development Unit FEB, Universitas Gadjah Mada (UGM), fenomena ini semakin sering ditemui di kalangan mahasiswa saat ini.

Menurut Anisa, mahasiswa cenderung ingin tampil serba bisa, serba kuat, dan serba produktif. Sayangnya, di balik pencitraan tersebut banyak yang merasa lelah dan kewalahan, tapi tidak selalu tahu cara yang tepat untuk mengatasinya.

Duck syndrome pertama kali digunakan untuk menggambarkan mahasiswa Stanford University yang tampak tenang, namun sebenarnya berada di bawah tekanan.

Ia menyebut, fenomena ini juga sekarang kerap ditemukan di berbagai kampus di Indonesia.

Baca Juga: Terlalu Lama Kesepian, Awas Kena Masalah Kesehatan

Mahasiswa, kata Anisa, berusaha memenuhi ekspektasi tinggi baik dari diri sendiri maupun lingkungan. Ini membuat mereka berupaya menjaga IPK, aktif berorganisasi, ikut lomba, magang, hingga tetap eksis di media sosial.

“Banyak mahasiswa merasa harus ambil semua kesempatan karena takut tertinggal. Takut kalau tidak ikut ini-itu nanti dibilang malas, tidak kompetitif, tidak punya masa depan,” ujarnya, mengutip laman resmi UGM, Kamis (21/8/2025).

Ia menjelaskan, berdasarkan konsep Self-Determination Theory, manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar, yaitu rasa kendali (autonomy), rasa mampu (competence), dan rasa terhubung (relatedness).

Terkait duck syndrome, saat pilihan hidup lebih banyak digerakkan oleh tekanan eksternal ketimbang keinginan pribadi, maka keseimbangan psikologis individu akan terganggu.

Selain itu, budaya untuk selalu terlihat baik-baik saja membuat mahasiswa berusaha menekan atau menyembunyikan emosi yang mereka rasakan.

Anisa mengatakan, tak sedikit dari mereka yang berusaha tidak terlihat lelah atau menyerah, karena takut dianggap lemah. Sikap perfeksionisme yang tinggi inilah yang membuat orang cenderung menutupi kelemahan dan kesulitan.

“Padahal kita ini manusia biasa, punya batas. Tapi karena ingin mempertahankan citra sempurna, akhirnya semua dipendam sendiri,” kata Anisa.

Media sosial juga dinilai berperan dalam fenomena ini, salah satunya terkait ramainya konten pencapaian orang lain. Inilah yang dapat membuat seseorang merasa tertinggal.

Baca Juga: Menaker Ungkap 3 Pekerjaan Ini Dibutuhkan di Masa Depan, Tapi Keahliannya Langka di Indonesia

“Dalam usaha untuk tidak kalah bersinar, mahasiswa sering kali memaksakan diri untuk terlihat produktif,” kata Anisa. Menurutnya, hal ini sesuai dengan Impression Management Theory.

“Seseorang cenderung mengatur dan mengendalikan citra diri agar terlihat kuat dan mampu, meski di balik layar sesungguhnya ia sedang sangat lelah,” jelasnya.

Duck syndrome bisa jadi fenomena yang berbahaya karena tak kasat mata. Meski terlihat baik-baik saja, banyak orang tak sadar dirinya sedang mengalami distress psikologis.

Kalimat-kalimat bahwa semua orang juga lelah atau fase tersebut harus dilewati jika ingin sukses, bisa jadi pembenaran untuk terus memaksakan diri.

Padahal, kata Anisa, kondisi yang berkepanjangan bisa berkembang jadi gangguan yang lebih serius seperti kecemasan kronis, insomnia, burnout, hingga depresi.

Konflik perasaan internal dan ekspresi internal yang dialami juga akan menimbulkan disonansi kognitif yang berat. Lama-lama, orang bisa merasa asing dengan dirinya sendiri, serta bingung membedakan antara sibuk dan bahagia.

Selain itu, duck syndrome juga akan mempengaruhi hubungan sosial. Seseorang dapat mulai menarik diri, merasa tidak cukup baik, hingga menghindari interaksi.

Baca Juga: Tips Tetap Waras di Tengah Maraknya Berita Buruk

“Ada perasaan takut dihakimi atau dianggap gagal, padahal sebetulnya yang dibutuhkan hanya ruang untuk didengar,” kata Anisa.

Mahasiswa pun sebaiknya mulai belajar untuk mengenali gejala duck syndrome, serta langkah-langkah sederhana untuk mengatasinya.

Pertama, jujurlah pada diri sendiri dan mengakui bahwa ia sedang lelah, bukan lemah. Menurut Anisa, sikap jujur ini adalah sebuah bentuk keberanian.

“Kita tidak harus selalu produktif atau terlihat bahagia. Menerima semua, dan mengizinkan diri merasa sedih adalah bagian dari pemulihan,” ujarnya.

Selain itu, penting untuk mengelola ekspektasi, baik pada diri sendiri atau lingkungan sekitar.

Seseorang perlu menyadari bahwa tidak semua standar harus diikuti, dan tidak semua peran harus diambil. Menolak suatu tanggung jawab demi menjaga kesehatan mental adalah hal yang sah.

“Belajar mengatakan tidak tanpa rasa bersalah adalah keterampilan penting,” pungkas Anisa.

Exit mobile version