Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Tren

Rojali dan Rohana Tak Cuma Ada di Indonesia?

Ilustrasi mal (Pexels/Pixabay)

TopCareer.id – Istilah rojali (rombongan jarang beli) dan rohana (rombongan hanya nanya) sempat viral di Indonesia beberapa waktu lalu.

Namun, menurut I Wayan Nuka Lantara, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia.

Beberapa negara, kata Wayan, juga mengalami fenomena “rojali” dan “rohana” karena melemahnya daya beli masyarakat, serta perubahan pola konsumsi pasca pandemi.

“Secara global, daya beli masyarakat sedang mengalami tekanan. Di Jerman maupun Jepang, saya melihat fenomena serupa,” kata Wayan, seperti dikutip dari laman resmi UGM, Selasa (26/8/2025).

“Di Jepang, orang lebih banyak window shopping tanpa membeli. Jadi bukan hanya di Indonesia,” imbuhnya.

Sementara di Indonesia, ada dua faktor utama yang mempengaruhi fenomena ini. Pertama adalah naiknya harga kebutuhan pokok yang memicu inflasi, membuat masyarakat melakukan realokasi anggaran.

Baca Juga: Tanda Rapuhnya Ekonomi, Tren Rojali-Rohana Jangan Jadi Candaan Semata

“Harga beras, daging, hingga transportasi meningkat. Akibatnya, belanja non esensial seperti pakaian atau produk gaya hidup di mal menjadi prioritas kedua,” kata Wayan.

Seseorang yang datang ke mal pun lebih mencari hiburan, namun tidak melakukan pembelian karena merasa uangnya lebih layak dibelanjakan hal yang lebih penting.

Faktor kedua adalah pergeseran perilaku belanja setelah pandemi Covid-19. Kebiasaan membeli barang secara daring masih berlanjut hingga sekarang, karena perbedaan harga yang cukup signifikan dibandingkan di mal.

“Banyak orang melihat produk secara langsung di pusat perbelanjaan, lalu membelinya secara online karena lebih murah. Fenomena ini dikenal sebagai showrooming,” kata Wayan.

Jika kondisi ini terus berlanjut, Wayan menyebut bisnis ritel akan terpukul, bahkan punya potensi menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor pusat perbelanjaan.

Baca Juga: PHK Melonjak, Hapus Batas Usia Kerja Bisa Jadi Cara Hadapi Pengangguran

Karena itu, pemerintah harus memiliki langkah antisipatif, mengingat industri ritel menyerap banyak tenaga kerja. Wayan menyebut, ada dua pihak yang perlu perhatian

“Pelaku usaha ritel melalui insentif pajak atau stimulus tertentu seperti penyelenggaraan event di mal, dan masyarakat melalui pengendalian inflasi agar daya beli terjaga,” katanya.

Menurutnya, tanpa langkah tersebut kelas menengah yang selama ini menopang konsumsi justru akan tergerus.

Wayan mengatakan, pertumbuhan ritel di tanah air masih di bawah rata-rata negara ASEAN, yang mencapai enam perse per tahun, sementara Indonesia di bawah lima persen.

Data ini harus jadi perhatian serius pemerintah, mengingat mal di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai pusat perbelanjaan, tapi juga ruang publik bagi masyarakat dan tempat mencari peruntungan bagi pekerjanya.

Leave a Reply