TopCareerID

Berita Buruk Bebani Pikiran, Ini Tips Mengatasinya

Ilustrasi kerja (Freepik)

Ilustrasi stres (Freepik)

TopCareer.id – Masyarakat belakangan kerap terpapar berita buruk di media. Bagi beberapa orang, ini juga menimbulkan beban psikologis mulai dari overthinking, tertekan, kecemasan, hingga putus asa.

Nur Islamiah, psikolog dari IPB University mengatakan, ada baiknya masyarakat tidak menjadikan berita sebagai “santapan pertama” di pagi hari atau sebelum tidur.

Dia mengatakan, di dua waktu tersebut otak berada dalam kondisi yang paling rentan terhadap pengaruh emosional.

“Membuka hari dengan berita negatif dapat memicu stres sejak pagi, sementara mengaksesnya sebelum tidur dapat mengganggu kualitas istirahat dan memperburuk kecemasan,” kata Islamiah, mengutip laman resmi IPB, Selasa (2/9/2025).

Menurut Islamiah, tanpa disadari kita mungkin sedang mengalami apa yang disebut para ahli psikologi sebagai media saturation overload.

“Yaitu kondisi ketika otak dan emosi kita menjadi terlalu jenuh akibat paparan terus-menerus terhadap berita negatif dari berbagai platform, terutama media sosial,” jelasnya.

Baca Juga: Tips Tetap Waras di Tengah Maraknya Berita Buruk

Fenomena ini bukan cuma kejenuhan sesaat. Paparan konstan terhadap informasi negatif menciptakan siklus stres psikologis.

Semakin sering kita menyimak berita buruk, semakin tinggi kecemasan yang dirasakan, membuat makin sulit pikiran untuk pulih dan tenang.

Islamiah mengungkapkan, kelompok usia remaja dan dewasa awal menjadi populasi yang paling rentan, apalagi konsumsi mereka terhadap sosial media cenderung lebih tinggi dibanding kelompok usia lainnya.

“Kita tetap bisa menyikapi ini, salah satunya dengan menyadari bahwa kita punya kendali atas apa yang kita konsumsi, misalnya mengatur waktu dan frekuensi membaca berita serta memilih sumber yang kredibel,” kata Islamiah.

Baca Juga: Kerap Dialami Mahasiswa Saat Ini, Apa Itu Duck Syndrome?

Selain itu, beri jeda perhatian dari media dengan aktivitas yang mendukung kesejahteraan psikologis seperti olahraga ringan, berbicara dengan keluarga, atau sekadar istirahat menghilangkan penat.

“Yang tidak kalah penting adalah menerima bahwa diri tidak harus selalu tahu segalanya. Dengan begitu, kita memberi ruang bagi pikiran untuk bernapas di tengah derasnya arus informasi yang tak selalu ramah bagi jiwa,” kata Islamiah.

Untuk menjaga kewarasan, seseorang perlu tahu kapan harus rehat, kapan harus berhenti, dan kapan saatnya terhubung kembali untuk memahami, merespons dan berkontribusi dengan pikiran yang jernih dan hati yang utuh.

Exit mobile version