TopCareer.id – Parlemen Malaysia mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Gig sebagai Undang-Undang (UU).
Pemberlakuan aturan ini akan melindungi 1,2 juta warga Malaysia yang mencari nafkah di sektor gig economy termasuk di antaranya pengemudi ojol hingga kreator konten.
Dilansir Malay Mail, UU baru ini mengakui pekerja gig sebagai kategori tenaga kerja tersendiri, bukan karyawan tetap dan bukan kontraktor independen.
Selain itu, diperkenalkan sejumlah perlindungan hukum melalui kewajiban perjanjian kerja tertulis antara pekerja dan perusahaan pemberi kerja.
“Selama ini, 1,2 juta pekerja gig di Malaysia bekerja setiap hari tanpa perlindungan layak, seolah kontribusi mereka bagi perekonomian tidak pantas diakui,” kata Steven Sim Chee Keong, Menteri Sumber Daya Manusia dalam pidatonya.
“RUU ini mengakhiri ketidakadilan tersebut,” imbuhnya, dikutip Rabu (3/9/2025).
Baca Juga: Demi Anak, Ibu di Malaysia PP ke Kantor Naik Pesawat Tiap Hari
UU baru ini mencakup spektrum luas pekerja gig mulai dari pengemudi e-hailing dan p-hailing, freelancer, hingga kreator konten digital.
Dengan aturan ini, seluruh platform dan perusahaan yang mempekerjakan pekerja gig termasuk Grab dan Foodpanda, wajib menyediakan kontrak yang jelas mengatur standar minimum seperti syarat pembayaran, pengaturan kerja, cakupan asuransi, dan prosedur pemutusan hubungan kerja.
UU ini juga melarang perubahan tarif sepihak, penonaktifan akun secara sewenang-wenang, dan pembatasan pekerja untuk bekerja di lebih dari satu platform.
Selain itu, dibentuk juga Tribunal Pekerja Gig yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa, serta memerintahkan pemulihan hak seperti pengembalian akun, kompensasi, atau pembayaran tunggakan upah.
“Untuk pertama kalinya, pekerja memiliki hak untuk didengar sebelum diberi sanksi atau penangguhan,” kata Sim.
“Jika terbukti tidak bersalah, mereka akan mendapat kompensasi setengah dari rata-rata pendapatan harian, sebuah perlindungan yang sebelumnya tidak ada,” ia menambahkan.
Baca Juga: Jokowi: Otomasi dan Gig Economy Jadi Tantangan Buka Lapangan Kerja
Per kuartal pertama 2025, total angkatan kerja Malaysia tercatat 16,7 juta orang. Dari jumlah itu, 3,45 juta bekerja di sektor informal atau sekitar 20,65 persen dari total tenaga kerja. Sekitar 1,2 juta di antaranya merupakan pekerja gig dan wiraswasta.
Inisiatif untuk UU ini bermula pada Maret 2024, saat Perdana Menteri Datuk Seri Anwar Ibrahim meminta Kementerian Sumber Daya Manusia merancang kerangka perlindungan pekerja gig.
Kementerian menggandeng Universiti Malaya untuk menyusun model kebijakan dan melakukan konsultasi luas.
Konsultasi juga melibatkan kementerian federal, pemerintah negara bagian Sabah dan Sarawak, hingga 40 sesi diskusi nasional dengan sekitar 4.000 pemangku kepentingan termasuk pekerja gig, perusahaan platform, serikat pekerja, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat.
Draf RUU ini bahkan sempat dipresentasikan di Komite Teknis ILO tentang Decent Work in the Platform Economy di Jenewa, agar selaras dengan standar internasional.