TopCareer.id – Depresi dan kecemasan di Indonesia masih butuh perhatian lebih. Pasalnya, masalah ini bisa berdampak pada anjloknya produktivitas kerja.
Menurut skrining kesehatan jiwa dalam Cek Kesehatan Gratis terhadap 13 juta penduduk, per 15 Agustus 2025, ditemukan 1 persen mengalami gejala depresi dan 0,9 persen gejala cemas.
Angka ini memang terlihat relatif rendah jika dibandingkan estimasi global, dengan prevalensi depresi biasanya sekitar tiga sampai lima persen.
Nurul Kusuma Hidayati, psikolog dan Manajer Center for Public Mental Health UGM, mengungkapkan bahwa faktor yang mempengaruhi munculnya gejala depresi dan kecemasan beragam.
“Tidak hanya cukup dengan faktor tunggal,” kata Nurul, mengutip laman resmi ugm.ac.id, Senin (29/9/2025).
“Bisa mencakup psikologis dan sosial ekonomi, penyakit kronis, pekerjaan, serta keterbatasan akses layanan kesehatan psikologis,” imbuhnya.
Baca Juga: Berita Buruk Bebani Pikiran, Ini Tips Mengatasinya
Stigma dan rendahnya literasi kesehatan mental juga membuat banyak kasus tidak terdeteksi, sehingga tidak tertangani.
Selain itu, kata Nurul, keterampilan coping (mengatasi tekanan) secara umum kurang berkembang dengan maksimal, sehingga berkontribusi pada masalah kesehatan mental.
Depresi dan kecemasan berdampak terhadap produktivitas masyarakat, membuat turunnya kemampuan bekerja melalui ketidakhadiran maupun kehadiran tanpa produktivitas.
Secara global, kondisi ini diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari USD 1 triliun per tahun, serta menurunkan kualitas hidup dan relasi sosial masyarakat.
Nurul pun menegaskan masalah kecemasan dan depresi bisa menciptakan risiko berkepanjangan, jika tidak ditangani dengan baik. Gejala yang muncul haruslah segera dikenali, agar tidak berkembang menjadi gangguan kronis.
Jika tidak, hal ini berpotensi meningkatkan resiko koping yang maladaptif, penyalahgunaan zat hingga memburuknya kesehatan fisik bahkan berujung pada tindakan bunuh diri.
Baca Juga: Terlalu Lama Kesepian, Awas Kena Masalah Kesehatan
“Di sisi lain, beban psikologis, ekonomi, dan sosial juga makin memperberat individu, keluarga, dan juga masyarakat,” kata Nurul.
Untuk mengurangi angka depresi dan kecemasan, dibutuhkan peningkatan literasi kesehatan mental, demi mengurangi stigma baik pada diri atau orang lain.
Selain itu, harus diperkuat juga keterampilan deteksi ini, baik di lingkungan domestik maupun di layanan primer. Perlu juga peningkatan dan perluasan program atau intervensi berbasis bukti, yang bisa dijalankan tenaga non-spesialis.
“Penting juga untuk mengupayakan gerakan promosi prevensi (mencegah) berkelanjutan dan alur rujukan masalah kesehatan mental baik di sekolah, kampus, dan tempat kerja,” pungkas Nurul.