TopCareer.id – Doomscrolling jadi salah satu fenomena yang banyak dialami masyarakat belakangan ini, apalagi dengan berita buruk yang kerap melanda.
Munculnya kabar buruk yang tanpa henti menimbulkan rasa ketidakpastian, membuat seseorang untuk terus mencari, membaca, atau menonton berbagai konten negatif.
Dosen Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Atika Dian Ariana menjelaskan, doomscrolling merupakan perilaku kompulsif sebagai manifestasi kecemasan dalam menghadapi ketidakpastian.
Dia mengatakan, manusia pada dasarnya terdorong untuk memahami situasi. Berusaha mengendalikan ketidakpastian, sekaligus memastikan mampu menghadapi ancaman.
“Doomscrolling ini semacam dorongan untuk menyelamatkan diri. Dengan mencari informasi, manusia merasa bisa mengendalikan hal-hal yang negatif atau mengancam,” kata Atika, mengutip laman resmi Unair, Selasa (30/9/2025).
Kebiasaan ini memang tampak terlihat sebagai insting bertahan hidup. Padahal, kata Atika, doomscrolling tidak benar-benar membantu.
Baca Juga: Berita Buruk Bebani Pikiran, Ini Tips Mengatasinya
Secara kognitif, terus-menerus terpapar informasi negatif membuat pikiran dan emosi ikut terpengaruh, sehingga individu lebih rentan merasa stres.
“Scrolling itu kan bukan aktivitas yang betul-betul memberikan solusi. Kecuali kalau kita tahu kapan harus berhenti,” kata Atika.
Dia membandingkannya dengan apabila kita menghadapi ujian, di mana kita tahu kapan waktunya berakhir, sehingga itu lebih mudah direncanakan.
“Tapi dalam situasi tidak menentu, seperti pandemi atau kerusuhan, kita tidak paham sebenarnya kapan ini berakhir,” imbuhnya.
Dampak lain dari doomscrolling adalah timbulnya kekhawatiran yang berlebih, sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Jika ini terjadi dalam waktu yang panjang, seseorang berisiko mengalami kelelahan fisik atau mental.
“Ketika cemas atau stres, tubuh ikut menegang seolah bersiap menghadapi ancaman. Lama-lama bukan hanya pikiran yang lelah, tapi juga tubuh kita,” kata Atika.
Baca Juga: Mengenal Doomscrolling, dan Cara Menghentikannya
Maka dari itu, literasi media sangatlah penting untuk meminimalisir dampak dari kebiasaan ini.
Menurut Atika, seseorang harus memilah dan memilih informasi yang kredibel, bukan sekadar mengikuti sumber media yang tidak jelas. Dengan begitu, informasi yang didapat akan bermanfaat untuk memahami situasi.
Seseorang juga perlu berlatih membatasi paparan informasi, dengan mengalihkan perhatiannya pada aktivitas yang lebih produktif.
“Ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, tapi ada juga yang harus kita kembalikan kepada Tuhan,” kata Atika.
“Kalau kita bisa menyeimbangkan berbagai aspek itu, kita bisa berfungsi secara penuh sebagai manusia sekaligus mengelola emosi dengan lebih baik,” imbuhnya.
Jika semuanya belum cukup membantu, mencari dukungan dari orang terdekat atau bantuan profesional bisa menjadi pilihan.
“Dibandingkan doomscrolling, lebih baik kita alihkan ke aktivitas produktif. Dan kalau sudah merasa tidak tertolong dengan cara-cara sederhana, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional,” pungkas Atika.