TopCareer.id – Tingginya angka pekerja informal di Indonesia menunjukkan bahwa kemiskinan struktural masih jadi masalah di tanah air.
Badan Pusat Statistik pada Februari 2025 lalu melakukan survei yang menunjukkan bahwa porsi pekerja sektor informal di Indonesia mencapai 59,4 persen.
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Wisnu Setiadi Nugroho mengatakan, kurangnya penyerapan tenaga kerja formal yang memadai dan turunnya jam kerja penuh waktu, ditengarai jadi penyebab tingginya pekerja informal.
Ia mengatakan, tingginya pekerja sektor informal juga terkait erat dengan kemiskinan struktural.
“Perlu dicatat, bahwa salah satu pilar pengentasan kemiskinan adalah active labor policy atau memberikan pekerjaan yang baik dan layak,” kata Wisnu, mengutip laman resmi UGM, Selasa (4/11/2025).
Dia menegaskan, meski angka pengangguran terbuka rendah atau kurang dari lima persen, banyak pekerja masih dalam kondisi underemployment atau bekerja secara informal dan tidak punya jam kerja memadai.
Baca Juga: Pekerja Informal Naik karena Badai PHK, Pemerintah Wajib Beri Perlindungan Sosial
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur dan jasa mendorong para pekerja beralih ke sektor informal karena fleksibilitasnya.
Selain itu, banyak lulusan sarjana dan pekerja yang terpaksa beralih ke sektor informal yang tak sesuai kompetensinya, karena pilihan yang terbatas.
Fenomena ini, kata Wisnu, menjadi semacam “pelampung” bagi angkatan kerja yang tidak terserap sektor formal.
“Jadi saya menilai bahwa kemiskinan struktural dan keterbatasan lapangan kerja formal adalah bagian penting dari permasalahan ini,” ujar Wisnu.
Ia menilai, upah minimum bukan masalah utama dari tingginya angka pekerja informal di Indonesia.
Masih kurangnya penyerapan tenaga kerja formal yang memadai, penurunan jam kerja penuh, dan pertumbuhan usaha rumah tangga informal menjad pokok utama dari fenomena ini.
Wisnu mencontohkan, 80 persen lapangan kerja baru antara 2018 sampai 2024 muncul di usaha rumah tangga informal.
Karena itu, pemerintah harus mengembangkan sektor produktif seperti industrialisasi yang menyerap banyak tenaga kerja, meningkatkan kapasitas tenaga kerja, dan mendukung usaha mikro naik kelas menuju formalitas.
Wisnu menyarankan pemerintah untuk fokus pada kualitas pekerjaan, bukan cuma kuantitas.
Baca Juga: Baru 11,99 Persen Pekerja Informal Terlindungi BPJS Ketenagakerjaan
Dia juga mendorong formalitas dan transisi dari informal ke formal, atau menerapkan skema insentif agar usaha informal bisa naik kelas.
Dengan strategi itu, usaha informal bisa memperoleh akses pembiayaan, teknologi, pelatihan bisnis, dan insentif fiskal agar tercatat, mematuhi regulasi, dan menyediakan pekerja formal.
Pemerintah juga bisa tak sekadar menurunkan atau menyesuaikan upah minimum.
Wisnu mengatakan, pemerintah bisa melakukan langkah komprehensif untuk meningkatkan produktivitas, memperkuat pelatihan vokasi, mendorong transformasi usaha informal menjadi formal, serta memberikan insentif bagi formalitas.
Upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan kapasitas usaha juga penting untuk dilakukan, untuk menghindari jebakan “skill trap.”
“Memperkuat sistem pelatihan vokasi, magang, dan link and match antara pendidikan dan kebutuhan industri agar lulusan memiliki kompetensi yang dibutuhkan,” pungkas Wisnu.
			












