TopCareer.id – Gen Z jadi kelompok pengguna tertinggi akal imitasi atau artificial intelligence (AI), menurut survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di 2025.
Angka pengguna Gen Z mencapai 43,7 persen, disusul Milenial 22,3 persen. Ini menunjukkan AI sudah jadi bagian dari keseharian generasi muda di tanah air.
Ridi Ferdiana, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) dan pemerhati rekayasa perangkat lunak mengatakan, peningkatan penggunaan AI di kalangan usia muda merupakan sebuah keniscayaan.
“Generasi Z itu lahir sebagai digital native, sudah dimanjakan teknologi sejak kecil. Generative AI sekarang menjadi bentuk disrupsi terbesar yang mengubah cara berpikir dan hidup mereka,” ujarnya.
Riset memperkirakan, pengguna akal imitasi di kalangan anak muda akan terus meningkat, apalagi dengan kombinasi antara Generasi Z dan Milenial, yang masuk dalam 77 persen pengguna aktif.
Ridi menyebut, dari sisi positif, penggunaan alat-alat AI bisa mengubah cara belajar dan mengembangkan kreativitas generasi muda.
AI generatif bisa menjadikannya teman belajar dalam memahami konsep, tak cuma sekadar memberi jawaban instan.
“Contohnya pada Gemini AI yang memiliki fitur guided learning yang akan mengajari kita dan melakukan deep research, sehingga membantu kita menganalisis jawaban lebih dalam,” kata Ridi.
Baca Juga: Menkomdigi Sebut 90 Juta Pekerjaan Baru Bakal Muncul karena AI
Di balik kemudahan AI, tetap ada dampak yang dikhawatirkan dari penggunaan berlebihan.
Penggunaan kecerdasan buatan tanpa adanya verifikasi dalam menerima informasi bisa memberikan ketergantungan. Ridi pun menjuluki fenomena ini sebagai “dikit-dikit AI.”
Anak muda yang memakai AI di segala aktivitasnya secara berlebihan, akan berdampak pada fenomena underload yang mengurangi kemampuan berpikir otak.
Ini berisiko pada penurunan kemampuan berpikir kritis, daya ingat, serta efek brain rot karena otak jarang diasah.
“Jadi critical thinking dan aspek memorize menurun, makanya yang paling gawat terjadi efek brain rot terjadi karena malas mikir dan dikit-dikit jadi tanya ke AI,” kata Ridi.
Setiap generasi juga dinilai punya adaptasi yang berbeda dalam menghadapi teknologi, khususnya pada perkembangan AI.
Baca Juga: Generasi Muda Indonesia Bisa Pimpin Inovasi Robotika dan AI
“Generasi X dan baby boomers saat ini bukan ada di tahap produktif lagi, melainkan ada di tahap lebih banyak bersosialisasi dan berempati,” Ridi menjelaskan.
Sehingga, di generasi yang lebih tua, penggunaan AI hanya sebatas alat seperti halnya Microsoft Word atau Excel.
“Namun bagi generasi Z dan Milennial, hal ini sudah menjadi disruption yang mengubah kehidupan,” kata Ridi.
Perkembangan AI juga menyebabkan pergeseran perilaku antargenerasi. Saat ini, generasi muda seperti Gen Z tak lagi mengandalkan search engine untuk menemukan jawaban, namun lebih banyak beralih pada AI.
Ini tak cuma pergeseran teknologi, tapi juga pergeseran budaya yang mengubah cara generasi muda menjalankan aktivitasnya.
Ridi pun menegaskan, generasi muda harus bijak dalam menggunakan akal imitasi, sehingga tidak sepenuhnya dikendalikan oleh teknologi.
Baca Juga: Workslop, Kala Hasil Kerja AI Malah Bikin Tambah Kerjaan
Dia pun memperkenalkan konsep ERA (Esensial, Rating, dan Applicable), sebagai tiga prinsip penting sebagai pedoman etika dan literasi digital generasi muda.
Esensial berarti menekankan dalam mencari pengetahuan dasar harus tetap menggunakan buku sebagai sumber acuan ilmiah, bukan langsung menggunakan AI.
Sementara Rating yaitu perlunya berpikir secara kritis dalam mempertimbangkan keputusan, baru memanfaatkan AI untuk bertanya tentang opini dari keputusan tersebut.
Hal ini diperlukan demi menjaga kemampuan analisis dan memilah keputusan dari diri sendiri.
Lalu Applicable berarti memanfaatkan AI sebagai alat bantu dalam memperbaiki dan menyelesaikan tugas, namun dengan catatan bahwa tahapan Esensial dan Rating sudah dipahami dengan baik.
Dengan memanfaatkan pendekatan ini, Ridi berharap AI bisa digunakan secara bijak, sehingga generasi muda dapat tetap menjaga kemampuan berpikir kritis di era gempuran teknologi digital saat ini.
“Dari situ kita menjadikan generative AI sebatas partner kita, bukan menggantikan peran kita untuk menyelesaikan permasalahan secara penuh,” pungkasnya.













