TopCareer.id – Media sosial (medsos) dan film dinilai mampu mengubah stereotip bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematic (STEM) pada perempuan.
Menurut International Labour Organization, di 2020, jumlah perempuan Indonesia yang bekerja di sektor STEM masih berada di angka 37 persen.
Angka tersebut berbeda dengan jurusan kesehatan dan edukasi, di mana perempuan sudah punya peran yang besar. Ini juga menunjukkan kesenjangan peran antara gender, baik di pendidikan dan karier.
Suzie Handajani, antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, stereotip ini menjadi salah satu bentuk konstruksi sosial yang sebenarnya bisa diperbaiki.
“Kalau gender itu buatan manusia, berarti bisa diubah oleh manusia,” ujarnya, mengutip laman resmi UGM, Senin (24/11/2025).
Menurutnya, dalam sejarah peran perempuan di ilmu pendidikan cenderung tersembunyi di balik laki-laki. Padahal, banyak penempuan penting lahir dari figur perempuan.
Dia mencontohkan, salah satunya Katalin Kariko, ilmuwan di balik pengembangan vaksin mRNA Covid-19, yang jadi tonggak besar di dunia kesehatan.
Baca Juga: Wamendikti Ungkap Masih Ada Kesenjangan Gender di Bidang STEM
Selain itu,Kartini di masa lalu mengembangkan sekolah perempuan untuk memperkuat ruang tumbuh kelompok minoritas wanita.
Ini didukung dengan riset yang menunjukkan perempuan cenderung lebih unggul secara akademik, ketika belajar di lingkungan yang seluruhnya wanita.
Suzie pun mengatakan, saat ini perempuan perlu saling mendukung. Dia mengatakan, keberadaan organisasi WISE (Women in Science and Engineering), bisa jadi ruang berkumpul bagi perempuan di bidang sains.
“Kumpulnya itu bukan untuk memisahkan diri, tetapi secara strategis menggalang kekuatan. Bukan niatnya seksis, tapi supaya sesama perempuan punya tempat untuk saling curhat dan saling menguatkan,” ujarnya.
Media sosial juga bisa menjadi sarana untuk mengubah stereotip. Menurut Suzie, medsos bisa jadi ruang pemberdayaan.
Sarana semacam ini ini dinilai mampu menyediakan kebebasan berkreasi, sehingga blind spot dari jurusan STEM bisa diungkap menjadi lebih informatif.
Baca Juga: Misi Peneliti Derry Tanti Dorong Lebih Banyak Perempuan Terjun di Bidang STEM dan AI
Suzie pun membayangkan munculnya kanal kreatif seperti ‘cewek di teknik kimia’ atau ‘student moms in STEM’ yang menampilkan keseharian, humor, dan tantangan perempuan di bidang terkait.
Dengan begitu, calon mahasiswa perempuan bisa merasa punya jejaring emosional, serta tidak takut menapaki karier di bidang yang masih didominasi pria.
“Mereka tidak melihat itu sebagai sesuatu yang di awal-awal harus ditakuti, tetapi justru karena lewat media sosial itu mungkin sudah ada temannya jadi kebayang,” kata Suzie.
Dia juga memberi contoh novel dan film “Lessons in Chemistry” yang menceritakan tentang seorang ilmuwan perempuan, yang berjuang di dunia kimia.
Menurutnya, karya seperti ini bisa menjadi pengingat bahwa perjuangan perempuan di STEM bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan di seluruh dunia.
Suzie menegaskan, representasi di media sangatlah penting, agar perempuan yang ingin terjun di bidang sains punya panutan, dan merasa jalan yang akan mereka tempuh tidaklah mustahil.
“Mereka butuh idola yang perempuan. Mungkin dari situ bisa tumbuh semangat bahwa masalah seperti ini dialami banyak orang di berbagai negara,” pungkas Suzie.
