TopCareer.id – Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) kini tak sekadar lagi tempat untuk membantu mencari informasi, tapi juga bisa jadi teman curhat.
Bagi banyak anak muda, AI bisa jadi tempat bercerita dan mencari validasi emosi. Mereka dinilai mampu memberikan rasa aman bagi seseorang yang curhat atau mencurahkan keluh kesahnya tanpa takut bakal merasa dihakimi.
Namun menurut Ridi Ferdiana, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), ada risiko yang harus diperhatikan dari tren semacam ini, mengingat AI sesungguhnya tidak memiliki empati dan perasaan.
Ridi mengatakan, AI adalah produk teknologi yang dari sisi bisnis diharapkan bisa menyentuh ke tingkat persoalan, agar produk ini digandrungi sekaligus dipercaya kredibilitasnya.
“Dari sudut pandang bisnis fenomena ini adalah posisi yang sangat strategis karena sebuah produk yang bisa menyentuh sampai level personal yang diharapkan dekat dengan keseharian manusia,” kata Ridi, mengutip laman resmi UGM.
Baca Juga: Saat AI Bikin Belanja Online Makin Personal
Sementara dilihat dari sudut pandang teknis, target utama dari konsep transformasi digital adalah harapan teknologi mampu mengubah manusia, sehingga lebih menyadari aspek digital.
Ia pun menyebut, tidak ada yang salah menjadikan AI sebagai teman lawan bicara atau curhat. “Tidak ada yang salah dari penggunaan AI sebagai teman bicara,” kata Ridi.
Jika melihat dari aspek sosial, chatbot AI ini adalah satu bentuk personal yang relatif konsisten untuk membantu berinteraksi dalam kondisi yang ideal.
Akan tetapi, ini bukanlah bentuk kepedulian melainkan mekanisme menebak kata selanjutnya. AI bekerja dengan prinsip mesin pembelajaran, di mana mereka mempelajari data berkualitas yang telah diproses sebelumnya atau pre-processing.
“Intinya yang mau dikatakan maka akan muncul kata yang diinginkan. AI itu berprinsip garbage in, garbage out. Kalau masuknya jelek, keluarnya jelek,” Ridi menjelaskan.
Menurut Ridi, saat ini juga dikembangkan teknologi agar AI bisa memiliki perasaan dan empati.
Baca Juga: Gen Z Pengguna AI Paling Aktif, Jangan Sampai Ketergantungan
Dia menyebut bahwa kecerdasan buatan sekarang berkembang menuju agentic AI dimana sistem yang tidak hanya merespons tetapi juga melakukan aksi tertentu.
Meski memberikan banyak manfaat, Ridi menekankan pentingnya governance dan kebijakan penggunaan AI. Menurut Ridi, kecerdasan buatan seperti obat yang jika digunakan berlebihan malah bisa menimbulkan “keracunan.”
Ridi pun menegaskan bahwa AI pun harus dirancang agar aman sejak awal atau by design.
Karena itu, prinsip Responsible AI, Ethical AI, dan Transparency AI penting harus dipastikan agar dia tidak menimbulkan dampak negatif, termasuk risiko halusinasi atau kesalahan fakta dan pengaruh yang tidak disadari pengguna.
“Gunakan AI secukupnya. Sama seperti fitur screen time di smartphone, kita perlu membatasi diri ketika menggunakan AI sebagai ruang curhat. Jangan sampai bergantung sepenuhnya dan kehilangan kendali atas diri kita sendiri,” pungkas Ridi.













