TopCareerID

Akhir Tahun Malah Burnout? Ini Saran dari Pakar UGM

Ilustrasi burnout. Sumber foto: gettyimages

TopCareer.id – Bagi beberapa pekerja atau mahasiswa, akhir tahun bisa jadi saat-saat yang berat karena burnout.

Target yang harus dicapai sebelum tutup tahun hingga evaluasi, sering membuat orang lelah secara fisik, mental, dan emosional.

Sumaryono, pakar Psikologi Industri dan Organisasi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan tidak semua kelelahan psikologis dapat serta-merta disebut burnout.

Karena itu, penting untuk memahami perbedaan antara stres, burnout, dan depresi agar dapat merespons dengan tepat dan proporsional. Menurut Sumaryono, ketiganya adalah tiga kondisi yang berbeda.

Burnout merupakan kondisi yang lebih berat karena mencakup kelelahan fisik, emosional, dan mental secara bersamaan.

“Yang sering terjadi itu sebenarnya stres, bukan burnout. Karena burnout itu cenderung lebih parah,” katanya, dikutip dari laman resmi UGM, Rabu (31/12/2025).

Dia mengatakan, pekerja umumnya menghadapi banyak tuntutan jelang akhir tahun, seperti tenggat waktu dan target kinerja.

Sementara mahasiswa, umumnya berada pada beban akademik yang relatif normal sehingga lebih tepat disebut mengalami stres.

Baca Juga: Tips Mengatasi Burnout Saat Mencari Kerja

Sumaryono menyebut bahwa sedikit tekanan yang dialami dianggap sebagai burnout. Secara psikologis, kata Maryono, burnout ditandai oleh rasa tidak berdaya yang dalam.

Ia mengatakan, apabila seseorang baru mengalami sakit kepala atau pusing, itu tergolong stres.

Burnout itu betul-betul merasa tidak mampu dan kelelahan berat untuk melakukan suatu aktivitas dan aktivitas-aktivitas lainnya,” ujarnya.

Sementara, depresi sudah masuk ke ranah klinis dan membutuhkan penanganan profesional yang lebih serius.

Sumaryono pun mengatakan bahwa dirinya tak sepenuhnya sepakat apabila Generasi Milenial dan Gen Z lebih rentan mengalami burnout, apabila dibandingkan generasi sebelumnya.

Ia menilai bahwa perbedaan lebih terletak pada resiliensi terhadap tekanan. Pengalaman yang belum banyak membuat daya tahan mereka terhadap tekanan besar masih perlu adaptasi.

Meski demikian, ia menegaskan tidak berarti generasi sebelumnya tidak mengalami tekanan, hanya bentuk dan konteksnya yang berbeda.

“Perbedaan generasi itu soal pengalaman menghadapi tekanan dan bagaimana mereka belajar untuk coping (mengatasi stres),” kata Sumaryono.

Baca Juga: Tips Tata Ruang Tamu Biar Lebih Nyaman Jelang Akhir Tahun

Dia menambahkan, dalam dunia kerja dan akademik, ekspektasi karier dan produktivitas sangat dipengaruhi oleh persepsi individu. Contohnya, stres bisa berubah jadi proses adaptif saat seseorang menemukan makna dari pekerjaannya.

Karena itu, peran mentor seperti dosen pembimbing akademik atau atasan di tempat kerja, sangatlah penting dalam mendampingi anak muda melalui metode coaching.

“Komunikasi yang terbuka ini dinilai menjadi kunci agar tekanan tidak berkembang menjadi stres arah dan berpotensi menjadi burnout,” ujarnya.

Untuk mencegah burnout, khususnya di akhir tahun, Sumaryono pun merekomendasikan melakukan CHANGE.

Metode ini mencakup Challenge yang melihat hidup sebagai tantangan, Hope untuk tetap menjaga adanya harapan, lalu Adaptation atau prinsip mengelola stres dan menetapkan prioritas.

Kemudian Network yang membangun jejaring untuk meminta pandangan dari mentor, hingga seseorang dan mencapai fase Growth dan Excellence.

Ia pun menegaskan bahwa stres tak boleh diremehkan, tetapi juga tidak perlu diperbesar. Dengan pemahaman yang tepat, stres justru bisa jadi energi pendorong untuk tetap mencapai produktivitas.

Exit mobile version