TopCareer.id – Pakar dari Institut for Development of Economics and Finance (Indef) mewanti-wanti pemerintah akan dampak dari kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen, yang akan berlaku pada Januari 2025.
Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, kenaikan PPN 12 persen akan memiliki imbas berantai yang tak cuma soal melemahnya daya beli masyarakat, tapi juga kenaikan biaya produksi dan konsumsi
“Produsen atau sektor industri kan membeli bahan baku menjadi bahan setengah jadi, dibeli lagi oleh industri, mereka terkena PPN juga,” kata Ahmad dalam diskusi publik secara daring pada Senin (18/11/2024).
Dengan naiknya biaya produksi dan konsumsi, daya beli pun akan melemah sehingga melemahkan utilisasi dan penjualan karena permintaan yang melambat.
“Akibatnya kalau misal tadi satu toko mempekerjakan lima orang dengan utilisasi 100 persen, karena tidak 100 persen lagi maka akan dikurangi faktor produksinya, termasuk penggunaan tenaga kerja,” Ahmad menjelaskan.
Baca Juga: Sri Mulyani Pastikan PPN 12 Persen Berlaku di 2025
Dengan berkurangnya penyerapan tenaga kerja maupun jam kerja, berdampak pada turunnya pendapatan dan anjloknya konsumsi. “Ini akan menghambat pencapaian target pertumbuhan,” kata Ahmad.
Dalam perhitungan yang pernah dilakukan Indef terkait kenaikan PPN 12 persen terhadap indikator makro, mereka melihat bahwa pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi 0,17 persen.
“Jadi selain pertumbuhan ekonomi yang akan turun 0,17 persen dari business as usual, konsumsi rumah tangganya juga akan turun 0,26 persen,” kata Ahmad.
“Jadi kalau pertumbuhan kita harusnya lima persen, gara-gara ada kenaikan PPN, tidak jadi lima persen, tapi lima persen kurang 0,17 jadi 4,83 persen,” imbuhnya.
Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Indef Eko Listiyanto dalam kesempatan yang sama mengatakan, efek kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dipastikan negatif.
Baca Juga: INDEF Minta Pemerintahan Baru Tunda Kebijakan yang Bebani Kelas Menengah
Bahkan, Eko menduga mulai terbiasanya pertumbuhan konsumsi di bawah pertumbuhan ekonomi, dikarenakan kenaikan PPN sebelumnya.
“Kalau kita mau baca dalam rentang yang jauh, kenapa kemudian konsumsi kita itu seperti mulai terbiasa tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi, yang saya bilang sebagai alarm. Itu saya duga berkaitan juga dengan waktu itu PPN naik juga.”
Di satu sisi, Eko menilai sampai saat ini belum terlihat kompensasi dari beban ekonomi berupa kenaikan PPN ini.
“Sampai hari ini kan belum ada yang diwacanakan pemerintah untuk mengkompensasi itu apa dari kenaikan PPN ini. Itu yang menurut saya jadi concern,” pungkasnya.