Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Tren

Pakar: Indonesia Harus Ubah Standar Kemiskinan

Ilustrasi uang-dana-keuangan.Ilustrasi uang-dana-keuangan. (Dimas/Topcareer.id)

TopCareer.id – Standar kemiskinan Indonesia beberapa waktu lalu disorot, karena dinilai berbeda dengan yang dikeluarkan oleh World Bank atau Bank Dunia.

Standar kemiskinan global yang dikeluarkan Bank Dunia menggunakan dasar perhitungan purchasing power parities (PPP) 2021.

Dari perhitungan tersebut Bank Dunia menetapkan ada lebih dari 190 juta warga miskin di Indonesia. Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat warga miskin di tanah air pada 2024 hanya sekitar 24 juta.

Perbedaan inilah yang jadi sorotan dan pro kontra, mengingat data yang tepat seharusnya bisa dipakai untuk membuat kebijakan yang tepat.

Rossanto Dwi Handoyo, dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) menjelaskan, BPS menggunakan perhitungan berdasarkan kebutuhan dasar dalam menghitung kemiskinan.

Rossanto mengungkapkan, kebutuhan itu dibedakan menjadi kebutuhan makanan dan nonmakanan.

Baca Juga: Kekayaan Bukan Cuma Soal Ketahanan Finansial

Kebutuhan makanan ditetapkan harus memenuhi minimal 2.100 kalori, sementara kebutuhan nonmakanan meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

“Sebenarnya perhitungan BPS sekarang ini sudah kuno. Karena perhitungan 2.100 kalori ini sudah tidak layak menurut saya untuk kategori makanan,” kata Rossanto, dikutip dari unair.ac.id, Senin (23/6/2025).

“Harusnya bagaimana menghitung garis kemiskinan itu ya tentang bagaimana hidup dengan layak. Ya miskin tapi nggak layak sama saja menuju pada kematian,” imbuhnya.

Ia menegaskan, pemerintah harus meningkatkan standar garis kemiskinan. Ketimbang menghitung dengan cara yang seminimal mungkin, kehidupan miskin harus ditetapkan dengan standar yang manusiawi.

Sehingga, meski seseorang dikategorikan miskin, mereka masih hidup dalam kondisi layak.

Alasan lain dari pembaruan standar kemiskinan adalah perilaku konsumsi masyarakat yang juga sudah berubah. Kebutuhan nonmakanan seperti paket internet telah menjadi kebutuhan sentral untuk tetap terhubung.

Baca Juga: Tips Miliki Keuangan yang Sehat untuk Generasi Sandwich

Maka dari itu, ada banyak indikator lain yang perlu dipertimbangkan dan ditingkatkan dalam penghitungan standar garis kemiskinan.

“Jadi kalau pemerintah mau fair, untuk perhitungan garis kemiskinan yang baru itu harus diubah standar hidupnya,” kata Rossanto.

“Kalau belum mampu memberikan kehidupan yang layak, ya kita fair saja untuk mengatakan yang mampu diintervensi hanya sekian,” dia menegaskan.

Menurutnya, jika standar kemiskinan sudah tidak sesuai dengan standar hidup saat ini, pemerintah harus mengubah dengan standar hidup yang lebih layak.

Pemerintah pun dinilai tak perlu malu untuk mengubah standar kemiskinan demi memberikan kebijakan yang lebih tepat.

“Kalau kita memang ingin menjadikan negara kita negara yang berkeadilan sosial maka treatment kita, spektrumnya harus lebih luas lagi,” kata Rossanto.

“Jangan sampai kita bangga menjadi negara berpendapatan menengah ke atas tapi memperlakukan warga seperti negara berpendapatan rendah,” pungkasnya.

Leave a Reply