Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Edukasi

Bahasa Isyarat Masuk Kurikulum Bisa Wujudkan Pendidikan Inklusif

Ilustrasi bahasa isyarat (Kevin Malik/Pixabay)

TopCareer.id – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno beberapa waktu lalu melempar wacana bahasa isyarat untuk masuk dalam kurikulum nasional.

Akademisi Universitas Airlangga (Unair), Fitri Mutia, mengatakan bahwa wacana ini sebenarnya bukan hal baru.

Ketua Koordinator Airlangga Inclusive Learning (AIL) ini menyebut wacana ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas.

Aturan tersebut menegaskan jaminan terselenggaranya pendidikan yang terfasilitasi bagi peserta didik penyandang disabilitas, tanpa terkecuali.

“Salah satu hal yang perlu disiapkan, termasuk dalam penyediaan akomodasi ini adalah dukungan anggaran, sarana prasarana, serta sumber daya manusia seperti guru, tenaga pendidik, dan dosen,” kata Mutia, mengutip laman resmi Unair, Senin (13/10/2025).

Menurutnya, aturan itu juga mengatakan soal penyediaan kurikulum yang inklusif, sehingga perlu ada fasilitas bagi teman-teman tuli di institusi pendidikan nasional.

Baca Juga: Menko PMK Ingin Lulusan Perguruan Tinggi Juga Bisa Buka Lapangan Kerja

Namun, kata Mutia, aturan tidaklah cukup jika tanpa diimbangi perubahan cara pandang masyarakat terhadap penyandang tuli.

Dia mengatakan, banyak yang menilai bahwa seharusnya penyandang tuli yang menyesuaikan diri dengan mempelajari bahasa formal. Padahal, kemampuan berbahasa isyarat bukan hanya kewajiban bagi mereka, tapi juga tanggung jawab bersama.

“Yang paling efisien memang bahasa isyarat. Membaca gerak bibir atau voice to text belum tentu akurat,” kata Mutia.

Perumusan kebijakan dan pembelajaran bahasa isyarat juga harus melibatkan komunitas tuli. Mutia menekankan, mempelajari bahasa isyarat sama saja dengan bahasa lain, yang harus dilakukan langsung pada ahli atau penutur aslinya.

“Dalam proses belajar dan mengajarkan bahasa isyarat tidak boleh sembarangan orang. Idealnya belajar dari yang sudah terverifikasi,” tegas Mutia.

“Tidak adil jika membuat kebijakan tanpa melibatkan mereka. Komunitas atau kawan-kawan tuli harus menjadi bagian dari prosesnya,” imbuhnya.

Baca Juga: Beda Bisindo dan SIBI, 2 Bahasa Isyarat yang Dipakai di Indonesia

Agar wacana tersebut bisa terimplementasi secara berkelanjutan, seluruh aspek pendidikan harus berjalan beriringan. Menurut Mutia, pendidikan inklusif artinya bukan lagi hanya di SLB, lembaga khusus, atau tidak sekolah.

“Teman-teman tuli juga harus bisa belajar di lingkungan pendidikan yang terbuka dan setara. Jadi, semua unsur harus menyiapkan diri. Aturan sudah ada, sekolah menyiapkan sumber dayanya, dan teman-teman tuli juga menjadi bagian di dalamnya,” katanya.

Meski belum terealisasi, Mutia optimistis kebijakan tersebut suatu saat akan terwujud. Masuknya bahasa isyarat ke dalam kurikulum pendidikan bisa menjadi cikal bakal terbentuknya lingkungan belajar yang inklusif.

“Harapannya, jika kedua belah pihak saling memahami, kondisi inklusif bisa tercapai. Di sisi lain, masyarakat umum pun dapat menumbuhkan rasa empati yang lebih tinggi terhadap keberagaman,” pungkasnya.

Leave a Reply