Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Lifestyle

Gaya Hidup Tentukan Risiko Demensia di Usia Dewasa

Ilustrasi lansia. (congerdesign/Pixabay)

TopCareer.idGaya hidup dan kondisi kesehatan jadi salah satu faktor yang dinilai bisa mempengaruhi risiko demensia seseorang.

Demensia merupakan gangguan otak progresif yang secara bertahap menurunkan kemampuan kognitif, mulai dari daya ingat dan kemampuan berpikir hingga keterampilan berkomunikasi.

Secara global, penyakit Alzheimer’s menjadi penyebab paling umum, mencakup sekitar 60 sampai 80 persen dari seluruh kasus demensia.

World Health Organization (WHO) mencatat, sekitar 50 juta orang di seluruh dunia saat ini hidup dengan demensia. Angka ini diperkirakan melonjak jadi 152 juta pada 2050.

Sementara, hampir 10 juta kasus baru demensia teridentifikasi setiap tauhnnya, termasuk sekitar 6 juta kasus di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian dilakukan di Jawa dan Bali yang memiliki prevalensi tinggi melebihi 20 persen.

Secara nasional, demensia akibat Alzheimer menyumbang sekitar 27,9 persen dari seluruh kasus, dengan lebih dari 4,2 juta orang Indonesia saat ini hidup dengan kondisi tersebut.

Meski banyak menyerang orang-orang berusia 60 tahun ke atas, demensia tidak selalu disebabkan proses penuaan alami.

Baca Juga: WHO Prediksi Jumlah Penderita Demensia Melonjak 40% di 2030

Studi yang dipimpin Matthew Pase dari Ageing and Neurodegeneration Research Program, School of Psychological Sciences Monash University menunjukkan, hingga 50 persen kasus demensia dapat dicegah melalui pengelolaan faktor risiko utama sejak dini.

“Penelitian kami menunjukkan bahwa kesehatan dan gaya hidup dapat memengaruhi kesehatan otak seseorang hingga usia 40 tahun ke atas,” kata Pase, mengutip keterangan tertulis, Sabtu (15/11/2025).

“Karena belum ada obat untuk demensia, penelitian tentang faktor risiko dan pelindung menjadi sangat penting,” ujarnya.

Berdasarkan laporan The Lancet Commission (2024) tentang Pencegahan, Intervensi, dan Perawatan Demensia, terdapat 14 faktor risiko demensia yang dapat dimodifikasi.

Dari segi kondisi kesehatan, faktor risikonya mencakup kemungkinan cedera otak, gangguan pendengaran, hipertensi, diabetes, gangguan penglihatan yang tidak diobati, dan kadar kolesterol tinggi.

Sedangkan dari sisi gaya hidup, faktor risiko demensia bisa berasal dari kualitas pendidikan yang rendah di masa kecil, isolasi sosial, polusi udara, kurangnya aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berlebih, serta stres berlebih.

Baca Juga: Kunci Kerja yang Produktif: Pilihan Gaya Hidup

Untuk menjaga kesehatan otak sebagai upaya mencegah demensia, tidur yang berkualitas bisa menjadi salah satu solusi terbaik.

Hasil riset juga menunjukkan, penurunan fase tidur dalam (deep sleep) sebesar satu persen per tahun pada lansia, dapat meningkatkan risiko demensia hingga 27 persen.

Maka dari itu, fase tidur ini sangatlah penting karena membantu otak membersihkan limbah metabolik, termasuk membuang protein yang menumpuk pada penyakit Alzheimer.

Data riset ASPREE-XT yang dipimpin para peneliti di Monash School of Public Health and Preventive Medicine juga menunjukkan, indikator fisik seperti kecepatan berjalan dan kekuatan genggaman tangan bisa menjadi tanda awal risiko demensia, bahkan sebelum gejala kognitif muncul.

Joanne Ryan, Heads of Biological Neuropsychiatry and Dementia Research Unit, School of Public Health and Preventive Medicine (SPHPM) Monash University pun mengungkapkan beberapa aktivitas yang membantu menurunkan risiko demensia.

Baca Juga: Kapan Waktunya Ubah Rutinitas Pagi? Cek, Ini 4 Tandanya

Kegiatan mental seperti seperti menulis jurnal, mengikuti kelas pelatihan, dan mengerjakan teka-teki dapat menurunkan risiko demensia sekitar 9 sampai 11 persen.

Sementara, aktivitas yang melibatkan kreativitas seperti merajut atau membuat kerajinan dapat menurunkan risiko hingga 7 persen.

Di sisi lain, bagi penyandang demensia, kehadiran keluarga sangat dibutuhkan. Ini terlihat dari tingginya keterlibatan mereka dalam jaringan dukungan, yaitu kelompok atau komunitas yang memberikan bantuan, informasi, dan dukungan emosional bagi pendamping dan keluarga.

Dalam sebuah focus discussion group (FGD) bersama Alzheimer Indonesia (ALZI), 54 persen peserta tercatat sebagai pendamping utama dari anggota keluarga yang hidup dengan demensia.

Temuan ini menegaskan besarnya kontribusi keluarga sekaligus mengungkap tantangan yang dihadapi pendamping muda, yang harus membagi waktu antara merawat, bekerja, atau menempuh pendidikan.

Leave a Reply