Topcareer.id Kita kehilangan sosok negarawan sekaligus inspirator bangsa. Presiden RI ke-3 BJ Habibie meninggal dunia, Rabu (11/9/2019) kemarin selepas magrib.
Bila mengenang kembali sosok beliau, jutaan anak Indonesia generasi 1980-an dan 1990-an tumbuh dengan nasihat orangtuanya, “Belajar yang rajin, biar besar nanti pintar seperti Pak Habibie.” Beliau memang jadi ukuran manusia jenius di Indonesia.
Sejak 1980-an Habibie menjabat menteri riset dan teknologi (menristek), membidani industri pembuatan pesawat terbang negeri ini serta sebelumnya melanglang buana di Jerman. Semua itu tak diraih dalam sekejap. Masa kecil Habibie justru getir.
Di usia 13 tahun, Rudy–demikian ia biasa disapa–ditinggal wafat ayahnya, A.D. Habibie, bekas Kepala Jawatan Pertanian Sulawesi Selatan. Ibunya, R.A. Tuti Martini Puspowardojo yang asal Yogyakarta, lantas membesarkannya.
“Sedang hamil delapan bulan, Ibu bersumpah di sisi jenazah Ayah, bagaimanapun akan menyekolahkan anak-anaknya,” kata anak keempat dari delapan bersaudara ini seperti dikutip dari profil singkatnya di buku Apa & Siapa, Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986 (Pustaka Grafitipers, 1986).
Kuliah di Jerman
Ia, atas anjuran ibunya, sendirian berangkat ke Bandung untuk masuk SMP. Ibunya menyusul kemudian setelah ia kelas dua SMA.
Setahun di ITB, atas usaha ibunya, ia beroleh beasiswa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (kini Kemendikbud) untuk belajar di Jerman Barat. Sementara itu ibunya berdagang dan menyewakan pemondokan kepada para mahasiswa. “Ini membulatkan tekad saya untuk (segera) lulus,” katanya.
Gelar insiyur mesin dan konstruksi pesawat terbang ia raih di usia 21 tahun. Waktu lulus, ia orang pertama di luar Jerman, setelah Perang Dunia II, yang membuat skripsi tentang aeronautika. Ia kemudian melanjutkan S2 dan program doktor atas biaya sendiri, sampai akhirnya meraih gelar profesor.*