TopCareerID

Seksolog di Indonesia Antara Ada Tiada

Ilustrasi

TOPCAREER.ID – Profesi seksolog atau psikolog klinis di Indonesia bisa dibilang antara ada dan tiada. Perannya sebagai jembatan pendidikan seks seolah hanya menjadi pemanis di dalam literasi semata. Terlebih dengan tantangan yang ada dalam masyarakat dan pemerintahnya sendiri.

Membicarakan seks di Indonesia, bagi kebanyakan orang masih di anggap sebagai sesuatu yang tabu. Padahal jika pendidikan seks diberikan lebih dini secara masif, mungkin saja bisa menekan pertumbuhan pelecehan dan penyakit seksual yang terjadi di segala tingkatan umur.

Tengok saja data-data miris yang didapat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2015. Dari 1.726 kasus pelecehan seksual yang terjadi, sekitar 58 persennya dialami anak-anak. KPAI menilai pola asuh menjadi salah satu faktor mengapa pelecehan seksual terhadap anak terus bermunculan.

“60 persen orangtua di Indonesia hanya menanyakan persoalan pendidikan akademik, seperti nilai, peringkat di kelas. Hanya 30 persen yang menanyakan persoalan sosial mereka, soal hobi, permasalahan dengan teman, status media sosial, bahkan soal reproduksi,” kata Sekretaris KPAI Rita Pranawati.

Lagi-lagi tema obrolan pendidikan seks bukan menjadi tema yang nyaman ditelinga banyak kalangan di Tanah Air. Menurut Seksolog dan Hypnotherapist, Baby Jim Aditya, bicara seks di Indonesia bahkan secara umum saja atau mendasar, dirasa sulit. Ia lantas membandingkan kondisi itu dengan luar negeri yang terkesan lebih terbuka soal obrolan seks.

“Minimal, di luar negeri ada di dalam sistem tentang pembelajaran seksualitas. SD sudah dikasih secara bertahap. Umur sekian sudah harus ngerti, misalnya dasar-dasar mengenal organ tubuh. Kelas sekian sudah tahu fungsi reproduksi dan dampak-dampaknya. Umur sekian harus ngerti kontrasepsi. Nah, kalau di Indonesia kan enggak. Semuanya nol,” kata perempuan yang akrab disapa Baby ini.  

Kepada TopCareer.id, Baby malah lantang berujar mayoritas orang Indonesia tidak pernah menganggap pelajaran seks itu sebagai hal penting dan mendasar. Anggapan itu lantas berimbas pada minimnya perhatian terhadap peran seksolog dan psikolog klinis dalam pendidikan seks.

“Kalau pergi ke SD atau SMP pertanyaan anak laki-lakinya itu ‘Mbak ciri-cirinya perempuan enggak perawan apa sih?’ Mbak, gimana supaya pacar aku tuh enggak usah mens?’ SMP kelas satu tuh begitu. Aku kan selalu bikin kuesioner, apa sih perilaku-perilaku mereka, supaya kelihatan. Mereka terbuka sama aku, karena mintanya ya berdua saja, enggak ada pihak otoritas, jadi mereka bebas,” ujar Baby yang juga seorang aktivis AIDS.

Lebih dalam lagi, ia menilai pekerjaan sebagai seksolog itu merupakan pekerjaan yang rumit. Mirisnya ia malah menggambarkan bahwa menjadi seorang seksolog harus rela diberi label negatif.

“Karena kalau orang ini (psikolog) enggak tahan, dia akan mental juga. Karena nanti jatuhnya kayak orang yang suka ngomong jorok. Orang yang bercandanya vulgar. Kadang-kadang orang kepelesetnya kami murahan, padahal enggaklah. Kami belajar dengan ilmu,” papar Baby.

Ia membeberkan, pekerjaan seksolog merupakan pekerjaan yang mengandung dua pendekatan, satu pendekatan kejiwaan dan yang satu medikal. Baby bertutur bahwa konteks pekerjaan yang ia lakukan sangat lebar variasinya.

“Misalnya yang banyak itu mulai dari kecemasan dan trauma-trauma terkait orientasi seksual, yang berbeda daripada umum atau dominan. Kalau di masyarakat itu kan ditetapkan oleh yang dominan. Misalnya yang dominan adalah heteroseks, maka norma-norma heteroseks yang berlaku, kami sebutnya heteronormativitas,” jelas dia.

“Karena norma-norma mengikuti standar heteronormativitas, di luar ini (heteronormativitas) disebutnya abnormal. Tapi bukan berarti dia sakit atau enggak normal. Kebanyakan orang kurang baca dan kurang mau belajar, jadi seenaknya saja kalau ngomong. Ini hanya semacam variasi.”

Dengan stigma normal dan abnormal berdasarkan orientasi seksual itu tadi, maka seksolog kadang bertabrakan dengan nilai yang selama ini tertanam sejak lahir pada diri setiap orang. Seksolog harus mampu melihat secara luas setiap masalah sehingga membuat solusi tidak berdasarkan skema pribadi.

“Kita dibesarkan dengan heteronormativitas, sementara kami harus mau fleksibel melihat ada orang di luar dari heteroseks.” ujarnya. “Intinya mental mesti kuat. Seksolog, profesi yang jarang karena dia rumit dan membutuhkan keluwesan cara berpikir. Karena dia sangat-sangat membutuhkan orang yang non-judgemental. Terlebih karena informasi soal seksualitas ini kan jarang dipelajari. Dan itu akan lebih banyak berkutat akan value diri kami sendiri.”

Selain non-judgemental, seorang psikolog atau seksolog harus bisa berempati, serta berpihak pada kebutuhan klien. Seorang psikolog sudah seharusnya tidak membawa kepentingan pribadi, kepentingan agama, golongan, atau ras.

Ketika ditanya, seseksi apa profesi seksolog ini di mata Baby? Ia menjawab bahwa seksolog merupakan profesi yang menarik karena ia bisa bertemu tantangan baru. Terlebih soal perilaku orang yang selama ini dipikir tidak pernah ada. “Dinamis dan sangat misterius,” tandasnya.

“Enggak cuma tantangan. Kami jadi tahu ya bahwa sebetulnya masyarakat yang terlalu represif membicarakan seksualitas, seperti masyarakat Indonesia, justru akan menghasilkan orang-orang yang stres dengan seksualitas dan mencari rilisnya dengan cara masing-masing. Ya, dengan modus-modus perselingkuhan.”

Karena minimnya pengetahuan soal seks, terlebih mengenai profesi seksolog dalam ilmu psikologi klinis, banyak kasus yang seharusnya ditangani seksolog malah lari ke tangan ahli lain. Hal itu tentu membuat keresahan sendiri bagi Baby, menurutnya penanganan yang salah bisa berakibat buruk bagi korban.

“Contohnya kasus-kasus preferensi seksual yang bukan heteroseks. Ada yang dikira orangtuanya dia pakai narkoba, jadi direhab. Ada yang dibawa ke pemuka agama, diruqyah. Ada yang dibawa ke gereja. Itu justru dipermalukan kan, tambah susah, tambah stres dia, trauma. Datang ke seksolog juga harus tahu bahwa ini bukan penyakit yang kelihatan yang bisa diperiksa pakai stetoskop,” papar Baby.

Bahkan, sambung Baby, banyak orang berpikir psikolog itu kerjanya seperti di HRD (Human Resource Development), yakni terkait perekrutan pegawai. Padahal, itu dua jurusan yang berbeda. Ada psikolog profesi klinis, sementara yang bagian HRD itu merupakan psikolog profesi PIO (Psikologi Industri dan Organisasi).

“Dan kami mesti punya pendidikan, kalau enggak dokter medis, ya psikolog klinis. Kalau psikolog klinis kan belajar faal, faal otak sama faal badan. Kalau psikolog industri mereka enggak belajar faal, makanya kami juga belajar statistik.”

Menyoal pendidikan seks, pemerintah sebenarnya punya program melalui Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di Puskesmas. Program ini dibuat untuk meningkatkan pengetahuan anak remaja soal kesehatan reproduksi dan perilaku hidup sehat.

Koordinator dan Pengelola Program PKPR Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu, Ni Made Jendri menyampaikan bahwa program yang digagas pemerintah ini memiliki kegiatan di dalam gedung dan di luar gedung. Untuk kegiatan dalam gedung, lebih kepada pelayanan kuratif atau pengobatan, serta penanganan masalah. 

“Untuk luar gedung, ada KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) terkait remaja, mulai dari tumbuh kembang, gizi, kesehatan reproduksi, pencegahan HIV/AIDS, Napza (Narkotik, Psikotropika, dan Zat Aditif). Itu bentuknya penyuluhan. Yang kedua adalah konseling. Jadi konseling dilakukan di luar gedung, terutama bagi remaja-remaja yang mempunyai masalah,” papar perempuan yang akrab disapa Made ini.

Kemudian, lanjut dia, yang ketiga adalah pelibatan remaja dalam program atau kegiatan PKPR, dengan menjadikan mereka sebagai pendidik sebaya atau konselor sebaya. Kegiatan lainnya adalah Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) atau life skill education.

Sementara itu, menurut Made, terkait tenaga yang ditempatkan dalam program PKPR ini, sesuai dengan pedoman kementerian, yakni dokter, dokter gigi, perawat, bidan, perawat gigi, ataupun tenaga lain yang memang sudah terlatih.

“Jadi, apakah psikolog bisa? Ya memang seharusnya psikolog, namun karena perekrutan oleh pemerintah untuk psikolog ke Puskesmas belum ada, jadi cukup tenaga yang terlatih untuk PKPR. Setahu saya, di DKI Jakarta belum ada penempatan psikolog di Puskesmas. Tapi di Sleman itu ada, tiap Puskesmas,” jelas Made kepada TopCareer.id.

Ia menambahkan, terkadang ada beberapa psikolog yang menjadi relawan untuk menyumbangkan tenaga dan waktunya ke Puskesmas melalui Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) DKI Jakarta. Dan untuk Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu sendiri, bekerja sama dengan fakultas Psikologi UI, bagi mahasiswa S2 yang hendak magang.

Lalu, pertanyaan yang muncul adalah, apakah dengan program PKPR Puskesmas yang berbentuk penyuluhan dan konseling bisa efektif dalam menanamkan pendidikan seks dan fungsi reproduksi bagi seluruh kaum remaja? Apalagi di tengah stigma masyarakat Indonesia yang masih menganggap obrolan seks sebagai hal yang tabu.

Made menjawab, program PKPR ini sudah pasti memberikan manfaat bagi mereka para remaja, di mana remaja yang sudah mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi akan lebih memahami fungsi organ-organ tubuhnya, dan salah satunya mengenai pendidikan seksual. Hal itu, dia anggap sebagai keefektifan program PKPR dari segi menfaatnya.

“Cuma tidak efektifnya adalah tidak semua remaja di wilayah kerja masing-masing Puskesmas itu mendapatkan informasi soal pendidikan kesehatan reproduksi ini. Misal, kami mempunyai lebih dari 100 sekolah, bayangkan kalau tenaga yang di PKPR itu hanya dua, mampu enggak menyentuh 100 sekolah itu? Sehingga kami butuh jejaring, berupa lintas sektor.”

Terkait data, tenaga psikologi klinis di Indonesia ternyata memang masih sangat minim. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2016, mencatat bahwa tenaga psikologi klinis di Indonesia pada 2015 hanya sebanyak 1.211 dari total Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK) di Indonesia 876.984 orang

Kembali lagi, permasalahan yang muncul adalah soal keterbatasan tenaga dan waktu sehingga keefektifan program tidak sepenuhnya dirasakan. Kemudian, apakah pendidikan seks bisa lebih efektif jika dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran di sekolah? Menurut Made, Kemenkes pernah membuat modul pendidikan kesehatan reproduksi untuk SD, SMP, dan SMA sederajat.

“Jadi, modul pedoman atau modul pendidikan kesehatan reproduksi ini ditujukan pada guru-guru di sekolah. Sudah ada modulnya, lalu apakah ini sudah dapat tersosialisasi di sekolah? Sepertinya belum optimal. Kami berharap guru-guru terlibat dan berperan serta dalam memberikan pendidkan kesehatan reproduksi kepada anak didik mereka,” ucap perempuan kelahiran Gianyar, Bali ini. 

Exit mobile version