Topcareer.id – Hari ini, 91 tahun lalu, para pemuda menorehkan tinta emas pada perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Mereka melahirkan sumpah yang kini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.
Kala itu, pada 1920-an, para pemuda ini terkotak-kotak menjadi anggota berbagai perkumpulan yang bersifat kedaerahan. Misalnya, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Bataks, Perkumpulan Kaoem Betawi, Sekar Roekoen Soenda, Jong Celebes, dan Jong Ambon.
Dipengaruhi kepedihan kehidupan yang sama sebagai warga jajahan, timbul kesadaran pergerakan mereka harus bersifat “nasional”.
Pada 1926, para pemuda bersepakat menggelar Kongres Pemuda I di Jakarta. Walau pada kongres pertama belum lahir sebuah ikrar bersama, namun para pemuda masa itu mulai tak sungkan untuk melakukan kegiatan bersama. Hingga pada akhirnya, ketika Kongres Pemuda II digelar pada 1928, lahirlah Sumpah Pemuda. Sebuah tekad kita semua: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Uraian di atas mungkin sudah kamu tahu dari pelajaran sejarah di sekolah. Namun, tahukah kamu seputar fakta-fakta unik yang terjadi selama Kongres Pemuda II?
Nah, yang begini nggak ada di buku pelajaran sekolah. Kami menggali fakta-fakta berikut dari buku dan majalah serta meramunya buat kamu. Sejarah itu asyik, lho. Yuk, kita simak bareng.
Mengakali polisi Belanda
Sabtu, 27 Oktober 1928. Jarum jam menunjukkan pukul 19.45 ketika Soegondo Djojopoespito membuka Kongres Pemuda II. Soegondo pemimpin rapat yang tangkas dan banyak akal. Perlu diketahui, yang ikut rapat bukan cuma para pemuda, tapi juga diawasi langsung polisi Belanda.
Pada satu kesempatan, polisi Belanda protes karena peserta rapat menggunakan kata “merdeka”, hal yang dilarang ketika itu.
Soegondo kemudian berkata, “Jangan gunakan kata ‘kemerdekaan’, sebab rapat malam ini bukan rapat politik dan harap tahu sama saja.” Hal itu disambut tepuk tangan riuh dan tawa hadirin.
Memang ada-ada saja trik kaum pergerakan kala itu mengakali polisi Belanda. S.K. Trimurti, salah satu tokoh pergerakan masa itu menulis sebuah cerita unik di buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda (Balai Pusatka, 1978). Tulisnya, ada trik khusus agar rapat organisasi pemuda yang dianggap radikal oleh Belanda tidak dibubarkan paksa polisi.
Suatu ketika, para pemuda hampir ditangkap polisi karena menggelar rapat, tapi akhirnya lolos. Kok bisa? Jadi, ketika polisi hendak menggrebek, para peserta rapat berganti sikap. Rapat yang serius berganti jadi acara tari-menari dansa-dansi. Musiknya, cukup pakai mulut saja menirukan suara gamelan.
Lagu “Indonesia Raya” tanpa syair
Kamu juga pasti tahu, saat Sumpah Pemuda untuk kali pertama diperdengarkan lagu yang kemudian jadi lagu kebangsaan kita: “Indonesia Raya”. Tapi pernahkah kamu bertanya, kenapa saat itu tidak dinyanyikan lagu “Indonesia Raya” lengkap dengan syairnya?
Well, jawabnya masih ada hubungan dengan larangan polisi Belanda untuk menyebut kata “merdeka” dalam rapat. Maka yang terjadi, Minggu, 28 Oktober 1928, jelang penutupan rapat, seorang pemuda langsing bernama W.R. Soepratman menenteng biola mendekati pemimpin rapat Soegondo menyerahkan secarik kertas berisi syair lagu yang digubahnya.
Menangkap judul “Indonesia Raya” dan begitu banyak kata “merdeka” dan “Indonesia” di situ, Soegondo langsung melirik polisi Belanda yang tekun mengawasi kongres.
Soegondo khawatir rapat bisa dibubarkan paksa bila lagu itu diperdenarkan lengkap dengan syairnya. Ia membolehkan Soepratman memainkan lagunya tapi tanpa syair. Musik itu berakhir dengan tepuk tangan panjang.
Naskah Sumpah Pemuda ditulis satu orang
Bagaimana ceritanya para pemuda bisa bersumpah di hari bersejarah itu? Begini kejadiannya. Rumusan Sumpah Pemuda itu ditulis Muhammad Yamin sendirian di sebuah kertas.
Ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato di sesi terakhur kongres. Sebagai sekretaris, Yamin yang duduk di sebelah kiri ketua menyodorkan secarik kertas pada Soegondo sembari berbisik, “Saya punya rumusan resolusi yang elegan.” Soegondo lalu membaca usulan resolusi itu, memandang Yamin. Yamin tersenyum. Spontan Soegondo membubuhkan paraf “setuju.”
Soegondo lalu meneruskan kertas ke Amir Sjarifudin. Dengan muka bertanya-tanya, Amir menatap Soegondo. Soegondo membalas dengan anggukan. Amir pun memberi paraf “setuju”. Begitu seterusnya sampai seluruh utusan organisasi pemuda menyatakan setuju.
Sumpah itu berbunyi:
- Pertama: Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
- Kedoea: Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
- Ketiga: Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Sumpah itu awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang lebar oleh Yamin. Setelah disahkan, ikrar pemuda itu jadi tonggak bersatunya bangsa Indonesia. * Diolah dari berbagai sumber.