Topcareer.id – Tenaga kerja mileniall kini seolah menguasai pasar kerja baik di Indonesia maupun global. Bahkan dalam 5 tahun ke depan, milenial bakal menyumbang 75 persen dari dunia professional global. Tapi kehadiran milenial di dunia kerja ini sering dikaitkan dengan karakteristik yang negatif.
Bagi para ahli karier modern yang telah bekerja dengan kelompok usia ini mengatakan bahwa milenial datang dengan sejumlah manfaat besar. Ada mitos-mitos yang menghampiri pekerja milenial, tapi ada kebenaran di balik itu. Berikut beberapa mitos terkait pekerja milenial seperti dirangkum oleh The Ladders.
1. Mitos: Milenial mementingkan diri sendiri, dan yang mereka pikirkan hanyalah ‘aku, aku, aku’
Kebenarannya: Generasi Millenial tidak takut untuk membela apa yang mereka yakini.
Ketika kebanyakan orang memikirkan karakter milenial kebanyakan, mereka langsung membayangkan para profesional yang hanya mementingkan diri sendiri. Ini adalah kesalahpahaman besar, menurut Courtney McKenzie Newell, pendiri, dan CEO Crowned Marketing & Communications.
Semangat mereka untuk terhubung dan menciptakan gerakan yang menginspirasi perubahan sosial disalahpahami sebagai egois atau fantastik. Faktanya, satu penelitian yang dilakukan oleh Deloitte menemukan bahwa hampir setengah (47%) dari generasi milenial memiliki keinginan untuk membuat dampak positif pada komunitas dan masyarakat mereka secara keseluruhan.
“Meskipun benar bahwa kaum Millenial lebih vokal — dan terkadang dengan pendapat yang tidak patologis — mereka menggunakan suara mereka dan meraih manfaat membantu mendorong perubahan sosial. Milenial lebih peduli tentang dampak positif, ” kata Newell.
2. Mitos: Milenial berpikir bahwa mereka tahu segalanya
Kebenarannya: Generasi Milenial terbuka untuk menerima saran dan dilatih
Secara umum, pelatih karier eksekutif Elizabeth Pearson mengatakan semua pengalamannya dengan kelompok usia ini adalah positif karena semua klien sangat menerima untuk mengembangkan diri mereka baik secara profesional maupun pribadi.
“Saya tidak dapat memastikan bahwa semua generasi milenial ingin belajar — seperti halnya klien saya, tetapi saya dapat mengatakan bahwa saya memiliki banyak klien dewasa yang tidak terlalu berdedikasi pada perkembangan mereka seperti halnya generasi milenial,” tambahnya.
3. Mitos: Generasi Milenial malas dan menghabiskan uang mereka
Kebenarannya: Generasi Millenial cukup bertanggung jawab secara fiskal
Newell mengatakan banyak orang percaya generasi Milenial menghabiskan uang mereka untuk perjalanan yang eksotis dan makan siang mewah, daripada untuk menikah, membeli rumah, memiliki anak, dan menunggu pensiun.
Namun, milenial tidak melihat satu jalan yang jelas menuju kesuksesan dan kebahagiaan. Sebaliknya, mereka sangat pilih-pilih tentang setiap pilihan yang mereka buat, termasuk ke mana uang mereka akan dihabiskan.
“Sebelum melakukan pembelian terkecil, mereka cenderung menghabiskan waktu berjam-jam untuk meneliti, menjelajahi youtube, google, dan facebook untuk memeriksa. Mereka bekerja keras demi uang mereka dan tidak ingin menyia-nyiakannya dengan pembelian yang buruk.”
4. Mitos: Generasi Milenial sepenuhnya bergantung pada teknologi
Kebenarannya: Kita semua bergantung pada teknologi— bukan hanya Milenial
Seperti yang dikatakan Pearson, Gen-Xers dan Boomers dapat dengan cepat memberikan penilaian jika mereka menangkap satu millennial yang terpaku pada ponsel mereka untuk menonton film, tetapi kemungkinan besar mereka melakukan hal yang sama.
“Sudah waktunya bagi semua orang untuk mengakui bahwa kita keranjingan, bukan hanya para hipsters yang selfie. Dengan kemajuan teknologi baru yang terjadi setiap hari, itu menguntungkan pengusaha untuk membuat pekerja milenial merangkul dan memaksimalkan semua alat inovatif yang tersedia.”*(rw)