Topcareer.id – Keputusan Presiden Donald Trump mencabut status Indonesia sebagai negara berkembang akan menambah beban keuangan Indonesia. Beban tersebut muncul karena kenaikan status tersebut bakal berdampak pada peningkatan tarif fasilitas pinjaman Indonesia.
Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Suharso Monoarfa menyebut kebijakan AS akan berdampak kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
“Kalau sudah seperti itu, fasilitas seperti pinjaman tidak lagi murah. Itu berpengaruh ke RPJMN ya pasti,” katanya pada Senin, (24/2) lalu.
Indonesia harus mampu mencari peluang kerja sama ekonomi dengan negara di luar AS. Dengan pendapatan per kapita yang kini berada di kisaran USD 4.000 per tahun, status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah memiliki peluang kerja sama dengan negara-negara di Afrika.
Baca juga: Amerika Tak Lagi Sebut Indonesia Negara Berkembang. Baik atau Buruk?
Presiden Donald Trump memutuskan mencabut status negara berkembang yang diberikan kepada Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dengan pencabutan tersebut, fasilitas yang umumnya diberikan kepada negara-negara berkembang seperti pemotongan bea masuk terancam akan dihapus.
Pencabutan status tersebut juga berpotensi menghilangkan fasilitas Official Development Assistance (ODA). Fasilitas tersebut merupakan alternatif pembiayaan dari pihak eksternal untuk melaksanakan pembangunan sosial dan ekonomi.
Padahal melalui ODA, negara-negara berkembang tidak hanya mendapatkan pendanaan dari pihak eksternal. Namun, mereka juga berpotensi mendapatkan bunga pinjaman yang rendah.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump menyebut WTO memperlakukan AS secara tidak adil karena memandang China dan India sebagai negara berkembang. Negara-negara tersebut memperoleh fasilitas dan bantuan dalam aktivitas ekspor dan impor. *
Editor: Ade Irwansyah