Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Friday, November 22, 2024
idtopcareer@gmail.com
Sosok

Cerita Kedekatan Arief Budiman dengan Adiknya, Soe Hok-Gie

Arief Budiman. (dok. istimewa)

Topcareer.id – Soe Hok-Djin alias Arief Budiman tak pernah membayangkan sebuah mimpi buruk yang harus dilakoni seorang kakak: menjemput mayat sang adik, Soe Hok-Gie yang meninggal karena menghisap gas racun saat mendaki Gunung Semeru.

Itu terjadi di pengujung 1960-an. Seperti sang adik, Arief juga menjadi aktivis yang turut menumbangkan Orde Lama Soeharto. Ketika sang adik telah tiada ia meneruskan perjuangan membela ketidakadilan dan mengkritik rezim korup.

Menarik menelisik bagaimana hubungan Arief Budiman dengan Soe Hok-Gie.

Bagi yang sudah menonton film Gie (2005) karya Riri Riza mungkin masih ingat betapa hubungan kakak-beradik ini digambarkan tak akur. Malah ada satu momen di film itu, saat keduanya masih remaja, mereka memandang dengan saling benci.

Di film itu tak jelas betul akar kebencian mereka. Juga, tak digambarkan apa permusuhan itu berakhir dengan saling memaafkan atau tidak. Cerita lebih jelas tentang hubungan Arief dengan adiknya justru digambarkan dengan baik oleh esais dan sastrawan Goenawan Mohamad, sahabat Arief semasa kuliah di Universitas Indonesia dalam sebuah tulisan di buku untuk memperingati sosok Arief.

Baca juga: Mengenang Arief Budiman (1941-2020), Bukan Sekadar Kakak Soe Hok-Gie

“Kakak beradik ini jarang bicara satu sama lain jika bertemu di antara orang banyak. Mereka saling menjauh, tampak tak ingin ada keakraban,” tulis Goenawan di esai panjang “Arief Budiman: Yang Akrab dengan Yang Murni” yang termuat di buku Arief Budiman (Soe Hok Djin): Melawan Tanpa Kebencian (2018).

Dunia pergaulan Arief berbeda dengan Soe Hok-Gie. Gie kerap digambarkan dengan tiga kata: buku, pesta, dan cinta. Gie akrab dengan aktivis politik Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dilarang Bung Karno dan pemimpinnya, Sjahrir, dan aktivis separatis Pemberontakan Permesta. Di luar itu, ia bergaul dengan kawan-kawannya di Fakultas Sastra UI, terutama yang menyukai musik balada, buku, dan naik gunung.

“Sementara Arief lebih banyak bergaul dengan perupa seperti Nashar, Zaini, Oesman Effendi dan Trisno Sumardjo, dan kemudian dengan saya, Rendra, dan penulis lain,” kata Goenawan.

Soe Hok Gie semasa hidup. (dok. Tempo)

Kematian Soe Hok-Gie

Soe Hok-Gie tutup usia di Gunung Semeru 16 Desember 1969 dalam usia 27 tahun. Beberapa hari sebelumnya, dengan sahabat-sahabatnya para pecinta alam, Hok-gie mendaki pucak tertinggi di Pulau Jawa tersebut. Selain Gie, Idhan Lubis juga meninggal dalam rombongan itu dalam kecelakaan yang sama.

Arief yang bertugas menjemput jenazah Gie mewakili keluarga dari Gunung Semeru. Goenawan berkisah, di sana Arief diberitahu ada tukang peti mati yang menangis karena kematian “orang yang berani” itu.

Di buku Catatan Seorang Demonstran yang berisi catataan harian Gie, sang kakak menulis momen saat menemani jenazah Gie dalam pesawat AURI. Ia berbicara dengan seorang pilot AURI yang mengemudikan pesawat pembawa jenazah. “Saya kenal namanya, Saya membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus,” demikian tulis Arief mengutip ucapan pilot.

Ini memberi Arief sebuah insight baru, kata Goenawan. Pada suatu saat, menurut Arief, Gie pernah menyatakan kebimbangannya: dalam perjuangan untuk “menolong rakyat kecil yang tertindas”, ia merasa makin lama makin banyak musuhnya dan “makin sedikit” orang yang mengertinya. Kata Gie pula, “kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.”

Tapi di kaki Semeru itu Arief tahu, tak demikian halnya. Di sebelah peti mati adiknya ia berkata, “Gie, kamu tidak sendirian.”

Ya, Soe Hok-gie kini tak sendirian lagi di alam sana. Ada sang kakak yang akan menemaninya terus. *

the authorAde Irwansyah

Leave a Reply