TopCareerID

Ingin Anak Bahagia dan Bebas Depresi Saat Dewasa? Mulailah dari Kandungan

Ilustrasi. (dok. Youtube)

Topcareer.id – Setiap ibu pasti ingin anaknya bahagia. Tidak hanya di masa kanak-kanak, tapi juga hingga dewasa. Jika kamu termasuk ibu yang berbahagia, tentu ingin agar kebahagiaan yang sama dimiliki anak-anak.

Namun, kebahagiaan itu ada dalam diri, tidak bisa diberikan, kecuali diajarkan. Maka pasangan suami-istri harus menyiapkannya, bahkan sebelum datangnya kehamilan.

Tahap-tahapnya sebagai berikut:

Pertama. Trauma pertama dan terbesar seseorang atau seorang manusia dimulai saat dirinya masih berbentuk janin, saat sel telur bertemu sel sperma, pada saat itu pula langsung memiliki kemampuan melihat dan mendengar, yang akan menangkap kesan pertama penerimaan atau penolakan ibu saat mendapati dirinya hamil atau mengandung.

Baca juga: Mengapa Milenial Kini Lebih Depresi dan Bagaimana Mengatasinya

Ibu yang bersyukur dan menerima dengan suka cita saat mengetahui kehamilannya, memberi bibit bahagia kepada anak dalam kandungannya. Sehingga dia kelak lebih mudah bahagia dan bersyukur dalam kehidupannya. Sebaliknya, ibu yang tidak siap, tidak mau, tidak mampu, tidak berani, bahkan tidak bersyukur dan malah meratapi kandungannya, dia telah memberikan trauma, bibit kepedihan, ketidakbahagiaan dalam kehidupan anaknya kelak.

Biasanya, anak dengan bibit kepedihan cenderung akan mudah tidak bahagia, sulit bersyukur, dan depresi.

Kedua. Bibit kebahagiaan atau kepedihan kemudian terus berproses selama masa kehamilan, baik dari pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, psikis, termasuk otak sang bayi dalam kandungan, paling besar didominasi suasana hati atau emosi ibu yang mengandung.

Ketiga. Memasuki usia kandungan 4 bulan, kemampuan melihat dan mendengar yang sebatas merekam, memasuki tahap pemaknaan terhadap apa yang dilihat dan didengarnya (penglihatan dan pendengaran).

Baca juga: Beda Antara Kesedihan dan Depresi

Keempat. Seringkali disarankan agar ibu memperdengarkan musik-musik klasik atau ayat suci. Padahal lebih memiliki pengaruh daripada itu adalah bagaimana lingkungan sekitar ibu, terutama suami (sebagai ayah dari bayi dalam kandungan) dan lainnya, memberi support dalam hal keseluruhan, terutama emosi sang ibu.

Kelima. Lagi-lagi, kebahagiaan atau kondisi emosi seseorang dewasa tidak dipengaruhi apa pun dan siapa pun selain dirinya. Artinya, banyak kasus terjadi ketika ayah dan lingkungan begitu kondusif selama ibu mengandung, namun ibu ini memiliki bibit kepedihan atau ketidakbahagiaan dalam dirinya (sejak dirinya masih berupa janin juga), itulah yang akan lebih berpengaruh kepada bayi dalam kandungannya.

Keenam. Hal ini akan terus berlangsung, terutama pada masa persalinan hingga lima tahun pertama kehidupan sang anak (golden age). Jika selama periode ini bibit kebahagiaan lebih dominan dikembangkan, anak pun kelak akan menjadi individu yang berbahagia, yang kelak akan menularkan (mengajarkan) kebahagiaan pula kepada pasangan dan anak-anaknya. * Sumber: tabloid Bintang Indonesia, 2013.

Exit mobile version