TopCareerID

(in-depth) Kala Vaksin Corona Tersedia, Apa Orang Kaya Bakal Dapat Lebih Dulu?

Ilustrasi. (dok. Global Times)

Topcareer.id – Kita sepatutnya menerima kenyataan: harus hidup berdampingan dengan virus corona. Kehidupan kita akan benar-benar normal seperti sebelum awal Maret 2020–ketika pasien covid-19 pertama kali diumumkan pemerintah–sampai ditemukan obat dan vaksin yang efektif membasmi corona.

Para ahli dan ilmuwan rata-rata sepakat mengatakan vaksin baru tersedia setahun hingga 18 bulan lagi. Presiden AS Donald Trump sesumbar vaksin corona bakal tersedia akhir tahun ini.

Entah enam bulan, setahun, atau satu setengah tahun lagi, bukan berarti perkaranya selesai begitu saja. Itu hanya waktu pembuatan. Bagaimana vaksin diberikan pada manusia belum dihitung waktunya.

Bisa kita bayangkan betapa rumitnya pendistribusian vaksin bagi seluruh penduduk Bumi. Bahkan bisa menyebabkan masalah politik dan sosial.

Pertanyaan yang segera mengemuka begitu vaksin corona tersedia adalah, bagaimana memberi vaksin pada seluruh penduduk dunia yang berjumlah 7,5 miliar? Bagaimana memproduksi dan mendistribusikan miliaran vaksin? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memvaksin semua orang?

Dan terutama… siapa yang divaksin lebih dahulu?

Orang-orang berusia di atas 45 tahun yang rentan, mereka yang mengidap penyakit bawaan atau bayi yang baru lahir hingga balita? Apa si fulan yang hidup bergelimang harta bakal dapat vaksin duluan ketimbang warga pemukiman kumuh dan pelosok desa nan jauh?

Baca juga: Melinda Gates: Jika Beruntung, Vaksin Covid-19 Ditemukan Akhir Tahun

Bila vaksin yang efektif ditemukan lebih dulu di negara maju seperti di Eropa, AS atau China, apa penduduk sana bakal divaksin lebih dulu dan baru kemudian ke negara berkembang dan miskin di Asia dan Afrika

Bagaimana dengan kita di Indonesia? Apakah kita menggunakan vaksin corona bikinan anak negeri sendiri atau mengimpor dari luar negeri?

Jika harus diimpor karena kita tak punya vaksin corona, bakal tambah persoalan lagi. Negara pembuat vaksin tentu akan mendahulukan warganya. Sementara itu negara-negara lain yang tak punya vaksin juga tentu menginginkan segera memvaksin rakyatnya masing-masing. Di situ lantas pemintaan pada pemasok vaksin akan sangat tinggi. Harganya juga mungkin akan selangit. Sanggupkah kita membelinya? Dan selain itu, bisakah kita menunggu pasokan vaksin tersedia sementara virus terus menyebar dan makan korban?

Dari sini juga muncul pertanyaan lain lagi yang akan mempengaruhi setiap individu. Kelak, siapa yang membiayai pemberian vaksin? Apa setiap orang bakal dapat vaksin gratis dari negara atau harus bayar sendiri dan minta divaksin di rumah sakit?

Untuk melihat bagaimana gambaran pemberian vaksin bagi seluruh populasi manusia kita bisa menyimak bagian sepertiga terakhir film Contagion (2011). Film karya Steven Soderbergh itu mengisahkan pandemi global virus MEV-1, virus fiktif yang mirip SARS yang menyerang tahun 2003 serta corona.

Adegan film Contagion (2011).

Di situ diceritakan, virus baru bisa ditaklukkan saat vaksin ditemukan. Di sana kita menyaksikan, untuk memberi vaksin pada seluruh warga Amerika membutuhkan waktu setahun. Caranya dimulai dengan mengundi tanggal lahir. Di Contagion, pemberian vaksin dimulai dari warga yang lahir 10 Maret.

Selain itu ada cerita lain lagi. Gara-gara vaksin, ilmuwan WHO diculik dan sang penculik minta sejumlah vaksin untuk ditukar dengan sandera. Ada pula, rumah pegawai CDC (Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit) AS disatroni perampok yang hendak merampas vaksin.

Keruwetan dan kerawanan sosial seperti itu bukan tak mungkin terjadi setahun atau satu setengah tahun lagi dari sekarang.

Cari tahu lebih jauh di halaman berikutnya>>

Sejarah singkat vaksinasi modern

Vaksinasi modern punya sejarah panjang. Dimulai dari penemuan vaksin cacar.

Pada zaman dahulu kala, sebutlah sebelum abad ke-18, orang China melawan penyakit cacar yang mematikan dengan cara radikal.

Pada abad ke-18, setiap tahun hampir setengah juta penduduk Eropa—dan banyak lagi di tempat lain—meninggal karena penyakit tersebut. Di London, Inggris, cacar merenggut satu nyawa dari lima penduduknya.

Namun, di China orang telah menemukan cara untuk melawan penyakit tersebut. Orang Tiongkok memperhatikan bahwa sekali orang mampu bertahan dari penyakit cacar, mereka tidak akan pernah terjangkit lagi, tak peduli seperti apa mereka bersinggungan dengan penyakit tersebut.

Lalu, penduduk di sana mengorek koreng cacar dari korban yang lebih lemah, kemudian menggoreskannya pada orang sehat yang belum terkena penyakit itu. Beberapa orang cepat meninggal karena infeksi, tapi sebagian yang lain mampu bertahan. Praktek ini dinamakan “variolasi” yang lalu menyebar dari Asia hingga Turki.

Baca juga: Vaksin COVID-19 yang Diuji di Jerman Siap pada Akhir Tahun

Hal ini menarik perhatian Lady Mary Wortley Montague. Ia begitu terkesan dan mempraktikkannya pada anak-anaknya sendiri. Praktik itu berisiko tinggi karena banyak orang yang benar-benar sehat memaparkan diri lalu terjangkit penyakit cacar.

Lalu, pada 1790, seorang dokter muda bernama Edward Jenner bertanya-tanya kenapa banyak perempuan yang bekerja di pabrik pengolahan susu seperti kebal terhadap cacar. Dia mengira, mungkin karena mereka telah mengidap penyakiit yang mirip, tapi jauh lebih ringan, yang disebut cacar sapi, yang mereka dapatkan dari sapi yang mereka perah susunya.

Dokter Jenner lantas menulari anak lelaki tukang kebunnya yang masih kecil, James Phipps, dengan bahan yang diambil dari luka perempuan yang bekerja di pabrik susu sapi yang sedang menderita cacar sapi.

Beberapa minggu kemudian, ia dengan sangaja menulari James kecil dengan cacar. James terbukti menjadi imun dan tetap begitu selamanya.

Setelah beberapa percobaan lebih lanjut, Jenner mampu meyakinkan pemerintah Inggris akan kemanjuran tekniknya. Seluruh Eropa dan Amerika Utara kemudian menjalankan program imunisasi wajib vaksin cacar kepada anak-anak, dan sejak itu penyakit cacar turun drastis.

Ilustrasi. (dok. Jakarta Post)

Penemuan vaksin cacar memulai berbagai penemuan vaksin bagi penyakit lain. Berkat imunisasi, penyakit-penyakit yang berbahaya di masa lalu seperti cacar air, difteri, polio, tetanus, campak, batuk rejan, rabies, antraks dan banyak penyakit lain bukan lagi ancaman.

Sampai akhir abad ke-18, hanya satu di antara tiga anak yang mampu bertahan di atas umur lima tahun. Kini, penyakit-penyakit tersebut bisa diusir dengan cara mudah: vaksinasi. Vaksin adalah cerita keberhasilan terbesar sepanjang masa dalam bidang kesehatan.

Akan tetapi tidak gampang membuat vaksin. Dan nyatanya membutuhkan waktu tak sebentar. Mengambil sampel penyakit lalu dengan serampangan menularkannya ke tubuh orang, seperti dilakukan Dokter Jenner pada anak tukang kebunnya, tak lagi bisa dipraktikkan.

Cari tahu lebih jauh di halaman berikutnya>>

Bagaimana vaksin bekerja

Senjata utama pengobatan modern melawan virus dan bakteri adalah vaksin. Sebetulnya, vaksin sendiri berasal dari kuman penyakit yang dilemahkan atau dimatikan. Vaksin dimasukan ke dalam tubuh manusia dengan cara disuntikkan atau diminum.

Virus di dalam vaksin tidak cukup kuat untuk menyebabkan penyakit, tetapi cukup kuat untuk mengaktifkan sistem kekebalan tubuh atau antibodi.

Antibodi ini hanya bisa diaktifkan jika ada ancaman dari luar. Prinsip dari vaksin adalah memancing aktifnya antibodi dengan cara memasukkan virus ke dalam tubuh. Namun, virus ini telah dilemahkan atau bahkan telah dimatikan, dan hanya diambil satu bagiannya yang dinamakan antigen, sehingga tidak akan membahayakan.

Ini ibarat menunjukkan poster “DICARI” kepada si antibodi. Jika virus yang sebenarnya masuk ke dalam tubuh, sistem kekebalan segera mengenalinya, lalu menyerang dan menghancurkan virus tersebut.

Tanpa vaksin, sistem kekebalan tidak dapat mengenali virus penyerang, jadi virus bebas menggandakan diri, menguasai tubuh dan menyebabkan penyakit, sebelum sistem kekebalan dapat bereaksi dengan semestinya.

Sebuah studi tahun 2003 di Belanda yang dikutip laman New Atlas mengatakan, para peneliti di sana menyimpulkan rata-rata membutuhkan waktu 10 tahunan mengembangkan vaksin dari mulai tahapan pra-klinis hingga memasarkannya ke publik.

Dalam catatan di blognya, Gatesnotes, jutawan pendiri Microsoft Bill Gates menulis membuat vaksin biasanya membutuhkan masa lima tahun. Katanya, begitu menargetkan penyakit yang hendak dibuat vaksinnya, vaksin yang dibuat di laboratorium harus diuji pada hewan terlebih dahulu dan melalui beberapa tahapan pada manusia.

Meringkasnya menjadi 12 sampai 18 bulan adalah langkah ambisius sekaligus pencapaian luar biasa dunia medis.

Cari tahu lebih jauh di halaman berikutnya>>

Pembuatan vaksin corona

Keberadaan vaksin corona sangat penting. Sebab ia akan menandai kemenangan manusia melawan wabah yang hingga akhi Mei 2020 menginfeksi hampir 5 juta orang dan mengakibatkan 300-an ribu orang meninggal.

Laman majalah Economist mencatat, vaksin corona akan memiliki dua kegunaan: mencegah orang yang belum terpapar virus menjadi sakit; dan dengan memberi vaksin pada orang yang berpotensi terpapar, berarti pula memutus mata rantai penyebaran virus sehingga yang belum divaksin juga terlindungi.

Sebuah vaksin yang dikatakan berhasil bila ia memenuhi dua syarat: aman dan efektif membunuh virus targetnya.

Aman berarti vaksin tidak menimbulkan efek negatif ketika masuk tubuh manusia. Sedikit demam atau rasa nyeri di bagian tubuh yang disuntik masih bisa diterima. Namun, vaksin seharusnya tidak menimbulkan penyakit baru pada manusia.

Efektif berarti sejauh mana vaksin itu mampu membasmi virus yang jadi lawannya. Kata Bill Gates, walau kita tentu ingin sebuah vaksin 100 persen mencegah datangnya penyakit, kebanyakan vaksin tak demikian.

Gates mencatat, sebuah vaksin yang 70 persen berhasil membasmi corona bisa dikatakan efektif. Vaksin yang faktor keberhasilannya 60 persen bisa diterima untuk digunakan. Sedangkan vaksin dengan tingkat efektivitas di bawah 60 persen akan cukup membangun imunitas kawanan (herd immunity) dalam sebuah populasi.

Ilustrasi. (dok. istimewa)

Tapi, sekali lagi, membuat vaksin butuh waktu tak sebentar dan rumit. Ada beberapa tahapan wajib yang harus dilalui, meskipun sudah memangkasnya jadi satu tahun.

Seperti dijelaskan Bill Gates dalam catatannya, sebuah vaksin yang telah dibuat haruslah melalui tiga tahap pengujian.

Pada tahap pertama, vaksin diuji coba keamanannya. Vaksin diujikan pada sekelompok kecil orang sehat. Mereka diberi dosis yang berbeda untuk mengetahui imunitas terbaik pada tingkat dosis terkecil tanpa efek samping serius.

Begitu formula vaksin diputuskan, lalu maju ke tahap kedua, yang menyasar sejauh mana vaksin bekerja efektif pada orang yang disasar. Di fase ini, ratusan relawan uji coba vaksin dilibatkan yang mencakup rentang usia dan status kesehatan berbeda.

Di tahap ketiga, vaksin diujicobakan pada ribuan orang. Ini biasanya fase paling lama, sebab membutuhkan apa yang disebut “kondisi penyakit alami.” Di fase ini, vaksin baru dikenalkan pada kelompok masyarakat yang berisiko terkena penyakit, kemudian dilihat berapa orang yang kebal dan yang jatuh sakit.

Baca juga: Rusia Siap Uji Coba Vaksin Corona pada Manusia Juni 2020

Setelah itu, vaksin baru didaftarkan ke badan pengawas obat dan makanan negeri pembuatnya, lalu juga ke WHO. Setelah mendapat sertifikasi baru kemudian diproduksi massal. Untuk bisa digunakan di negara lain, juga harus melalui pintu badan pengawas obat masing-masing negara.

Bagaimana vaksin ebola dibuat bisa menjelaskan ilustrasi di atas. Majalah Economist mencatat, wabah ebola yang dimulai tahun 2013 adalah wabah terbesar penyakit itu, mengakibatkan 11 ribu orang meninggal di Guinea, Liberia dan Sierra Leone di benua Afrika.

Cikal bakal vaksin ebola sudah mulai diteliti pada 1990-an, ketika ilmuwan Kanada meneliti bagaimana cara kerja penyakit itu. Mereka mengambil beberapa sel genetik virus ebola yang tak merusak lalu menginjeksikannya pada tikus. Sang tikus ternyata tak terpapar ebola, malah jadi kebal. Berkah kebetulan ini memungkinkan vaksin ebola dibuat. Namun, tak ada wabah yang terjadi untuk menguji coba efektivitasnya pada manusia.

Sampai, pada 2014 wabah ebola melanda Afrika Barat, vaksin itu diujicoba tahap satu di Inggris, Kenya, Amerika dan negara lain. Pada pertengahan 2015, uji coba tahap ketiga dilakukan di Guinea, negara yang terdampak wabah, dan dinyatakan berhasil. Vaksin ebola, dinamakan Ervebo saat ini telah dapat ijin penggunaan di seluruh dunia.

Sampai saat itu pengujian dari tahap satu ke tahap tiga yang hanya membutuhkan waktu 10 bulan, tak pernah terjadi sebelumnya. Namun, kenyataan bahwa hal itu pernah terjadi dan berhasil memberi kita harapan.

Cari tahu lebih jauh di halaman berikutnya>>

Kandidat kuat vaksin corona

Saat ini ratusan ilmuwan di dunia, mungkin di antaranya juga di Indonesia, tengah berlomba menciptakan vaksin corona. Mereka berlomba dengan waktu di saat kian hari makin banyak orang terinfeksi dan meninggal dunia.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sampai April silam setidaknya ada 70-an calon vaksin corona tengah dikembangkan. Majalah Economist mengungkap, hingga 15 April terdapat 86 calon vaksin corona tengah dibuat dengan berbagai metode dan jenis.

Pekan kemarin ada perkembangan menggembirakan di AS. Koran New York Times mengabarkan, perusahaan farmasi Moderna mengatakan telah melakukan uji coba tahap satu vaksin corona dan hasilnya menggembirakan.

Uji coba dilakukan pada delapan orang yang mendapat dua dosis vaksin berbeda. Vaksin tersebut mampu membangkitkan sistem kekebalan tubuh relawan dan berhasil menaklukkan serangan virus.

Pihak Moderna mengatakan, segera melakukan uji tahap kedua pada sekitar 600 orang dan tahap ketiga pada ribuan orang sehat di bulan Juli mendatang. Badan pengawas obat dan makanan Amerika, FDA, telah memberi lampu hijau pada Moderna untuk mulai tahap kedua bulan ini.

Kantor Moderna. (dok. Bangkok Post)

Vaksin yang dibuat Moderna berkolaborasi dengan Institut Nasional Penyakit Menular dan Alergi (NIAID) yang diketuai Dr. Anthony Fauci. Bagian dari Lembaga Kesehatan Nasional (NIH), badan itu terlibat dalam penelitian dan percobaan vaksin corona. Moderna dan Johnson & Johnson, raksasa farmasi lain, menerima setengah miliar dolar AS (setara Rp 7,4 triliun) dari pemerintah AS untuk mempercepat pengembangan vaksin corona.

Dikutip New York Times, pada tahap satu, vaksin buatan Moderna diuji coba pada orang berusia 18 hingga 55 tahun. Sistem kekebalan tubuh mereka menciptakan antibodi yang lalu diinjeksikan sel virus di laboratorium. Hasilnya, virus berhenti menyebar dan menggandakan diri—pertanda kunci vaksin bekerja efektif.

Tingkat antibodi yang mampu menetralkan virus mencapai level yang sama dengan orang yang telah sembuh dari penyakit covid-19.

Dr. Mark J. Mulligan, direktur NYU Langone Vaccine Center menyebut hasil temuan vaksin Moderna “sangat menjanjikan.” Ia menambahkan, “Meskipun relawan yang diuji coba sedikit namun itu tampak awal yang sangat baik.”

Pengujian tahap satu masih berlanjut. Dua kelompok usia 55 tahun hingga 70 dan 71 tahun serta di atas itu siap menjalani uji coba. Moderna tak menyebut mengikutsertakan anak-anak dalam uji coba, namun, seperti dikatakan Mulligan pada New York Times, anak-anak atau mereka yang berusia muda baru dilibatkan bila tak ditemukan efek samping berarti pada orang dewasa. Dikatakan juga, vaksin diberikan dua kali, dengan rentang waktu empat minggu.

Sebelumnya, vaksin telah diuji coba pada tikus di laboratorium. Vaksin diinjeksikan lalu tikus ditularkan virus corona. Hasilnya, vaksin mampu mencegah virus menggandakan diri di paru-paru tikus.
Vaksin yang dibuat terdiri atas tiga dosis: tinggi, sedang dan rendah. Hasil yang diumumkan berdasar percobaan pada dosis rendah dan sedang. Efek samping yang dilaporkan yakni bercak merah dan perih di sekitar tangan yang diinjeksi virus.

Percobaan dosis tinggi tak dilakukan karena dosis rendah dan sedang telah menunjukkan hasil yang diinginkan. “Semakin rendah sebuah vaksin, semakin mungkin untuk diproduksi,” kata Mulligan. “Saat ini ada kebutuhan mendesak untuk segera ada vaksin corona. Itu menimbulkan kewajiban etis untuk membuat vaksin efektif dengan dosis serendah mungkin agar vaksin bisa diproduksi sebanyak-banyaknya.”

Vaksin corona buatan Moderna dihasilkan dengan metode mRNA (messanger RNA). Pengerjaan vaksin ini sudah dimulai Januari begitu ilmuwan China mengunggah susunan genetik virus corona baru yang awalnya mewabah di kota Wuhan itu ke internet. Peneliti di Moderna dan NIAID mengidentifikasi sejumlah bagian susunan kode protein virus yang bentuknya seperti duri di permukaan yang menempel pada sel manusia, yang membantu virus menyerang.

Vaksin Moderna bekerja dengan cara menginjeksi mRNA pada protein di bagian duri virus dan masuk ke sel tubuh orang sehat, yang kemudian memicu protein si virusnya. Protein tersebut menjadi bendera peringatan yang membangunkan sistem kekebalan tubuh, menstimulasinya memproduksi antibodi yang akan mencegah infeksi dengan memblok serangan bila seseorang terpapar virus.

Cari tahu lebih jauh di halaman berikutnya>>

Perlombaan menjadi yang pertama

Perkembangan menggembirakan vaksin buatan Moderna juga memberi efek baik bagi perusahaan. Saham Moderna di bursa Wall Street, New York naik 25 persen pada perdagangan Senin pekan lalu.

Namun, dampak ekonomi pada perusahaan hanya salah satu efek kecil. Di saat banyak negara berlomba membuat vaksin corona, menjadi yang pertama dan membuktikan efektivitasnya menjadi prestise tersendiri. Selain Amerika yang kehilangan hampir 100 ribuan warganya oleh virus corona, mencipta vaksin menjadi sebuah tebusan dosa.

Begitu juga bagi China, tempat muasal virus tersebut. Menemukan vaksin yang efektif bagi China menjadi semacam pertanggung-jawaban negeri itu pada dunia. Selain, tentu saja, pembuktian superiotas ilmuwan dan sains China.

Bendera AS dan China. (dok. istimewa)

Dua negara adidaya ini tengah berlomba siapa cepat, dia juara.

Dikatakan Economist, sampai pertengahan April lalu, tiga calon vaksin corona telah melakukan tahap satu. Salah satunya vaksin yang dibuat CanSino Biologics, sebuah perusahaan bioteknologi China, yang bekerjasama dengan Akademi Kedokteran Sains Militer. Tahap kedua telah disetujui dan melibatkan 500 relawan di Wuhan.

Siapa pun pemenangnya kelak, bukan berarti setiap orang bisa langsung senang. Negeri pembuat vaksin tentu akan mendahulukan warga masing-masing. Ini akan membuat warga negara lain harus menunggu giliran pembagian vaksin.

Indonesia mungkin termasuk negara yang harus menunggu giliran pasokan vaksin, bila kita tak memproduksinya sendiri.

Pertengahan Februari silam, sebelum diumumkan penderita covid-19 pertama di Indonesia, peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengklaim telah melakukan pembahasan awal dengan PT Bio Farma (persero) untuk membuat vaksin corona.

Namun, hingga kini belum ada kabar berita lagi sudah sampai tahapan mana penelitian tersebut, apakah sudah melakukan tahap satu atau belum.

Semoga saja kita berhasil membuat vaksin sendiri. Sebab, bila tidak, kita tak hanya harus hidup berdampingan dengan corona, namun juga turut menderita menyaksikan saudara-saudara kita sakit dan kehilangan nyawa, sementara warga negara lain menjadi kebal berkat vaksin. * Bahan dari berbagai sumber

Exit mobile version