TopCareerID

Poin UU Cipta Kerja yang Dianggap Merugikan Pekerja Atau Buruh

Sumber foto: KBKNews.id

Topcareer.id – Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh pemerintah menuai banyak kontroversi dari berbagai kalangan, terutama kaum pekerja dan buruh.

Dalam UU Cipta Kerja, ada 11 klaster yang dibahas, seperti: Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan Berusaha, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi Khusus.

Namun, pada klaster ketenagakerjaan dinilai banyak poin yang kontroversial, karena banyak sekali merevisi pasal-pasal pada UU no 13 tahun 2003, yang selama ini mengatur ketenagakerjaan di Indonesia.

Berikut 8 poin yang menjadi sorotan banyak kalangan, dan ditolak oleh buruh dalam UU Cipta Kerja.

Kemungkinan kerja kontrak selamanya
Dalam Pasal 59 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dihapus batas waktunya. Ini bisa memicu perusahaan untuk memberlakukan kontrak selamanya kepada seluruh buruh atau karyawannya.

Outsourcing pada semua jenis pekerjaan
Sebelumnya, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik outsourcing hanya dibatasi pada jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.

Batasan ini kemudian dihapuskan oleh UU Cipta Kerja. Padahal sangat jelas praktik kerja outsourcing selama ini hanya menguntungkan perusahaan dan berimbas pada pengurangan hak-hak karyawan atau buruh.

Jam kerja dan lembur yang eksploitatif
Pada Pasal 78, batasan maksimal jam lembur dari awalnya maksimal tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Ini akan berakibat pada kesehatan pekerja, dan besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding mengingat upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Hak istirahat dan cuti dihapus
Berdasarkan Pasal 79, hak istirahat selama dua hari kepada pekerja yang bekerja dalam lima hari seminggu dihapus. Hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal enam tahun juga dihapus oleh UU Cipta Kerja.

Gubernur tidak wajib menetapkan upah minimum kabupaten/kota
Berdasarkan Pasal 88C UU, disebutkan bahwa gubernur “dapat” menetapkan upah minimum kabupaten/kota. Artinya, tidak ada kewajiban hukum bagi gubernur untuk menetapkan UMK. Dengan demikian, kepastian adanya jaminan upah minimum yang selama ini dinarasikan sebagai “jaring pengaman sosial” terancam.

Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat dengan memerhatikan laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus dalam RUU Cipta Kerja.

Pengawasan praktik PHK sepihak oleh negara kini diminimalisasi
Sebelumnya, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat kewajiban pengusaha untuk meminta penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial saat melakukan PHK kepada buruh. Kini, UU Cipta Kerja telah menghapuskan ketentuan tersebut.

Berkurangnya hak pesangon
Berkurangnya hak itu karena penggabungan atau pengambilalihan perusahaan, perusahaan tutup, sakit berkepanjangan, dan meninggal dunia.

Semua buruh dan pekerja menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah dalam UU Cipta Kerja yang menjelaskan 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran besar, dari mana BPJS mendapat sumber dana untuk membayar pesangon.

Perusahaan makin mudah melakukan PHK sepihak
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, diatur bahwa PHK kepada pekerja yang mangkir atau melanggar peraturan perusahaan diatur syarat yang cukup ketat. Namun, ketentuan ini dihapus oleh UU Cipta Kerja. Hal ini akan mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan yang tidak obyektif.**(Feb)

Exit mobile version