TopCareerID

Penyintas Covid: Puji Tuhan Saya Terkena Covid-19 (Bagian 2)

FX. Budijuwono, Penyintas Covid-19

Topcareer.id – “Puji Tuhan saya terkena Covid-19″ungkap FX Budijuwono dalam sharingnya kepada Topcareer.id, Jumat (13/11/2020).

Kalimat ini tentu saja terdengar aneh bagi kita. Di saat semua orang takut terjangkit virus yang telah menginvasi bumi dan menginfeksi lebih dari 53,6 juta penduduk warga dunia, dengan 1,3 juta di antaranya meninggal dunia, Budi justru merasa bersyukur.

“Patut disyukuri bahwa hidup sehat itu mahal, maka dengan terkena covid kita akan bisa berefleksi bahwa hidup sehat itu anugerah yang patut kita syukuri”sebut Budi kepada Topcareer. Ya, FX Budijuwono adalah salah satu pasien Covid-19 yang kini telah dinyatakan sembuh setelah hampir dua minggu dirawat di rumah sakit.

Budi, demikian pria berkaca mata ini akrab disapa, membagikan pengalaman tentang bagaimana virus tak kasatmata bernama Corona ini menyerang paru-parunya dan membuatnya tak berdaya.

Berikut kisah nyata yang diceritakan sendiri FX. Budijuwono: (Artikel bagian kedua)

Masuk IGD

Dua petugas di ambulance yang menggunakan baju layak astronot, menurunkan saya di RS RT Jakarta Barat. Keduanya dengan hati-hati mendorong saya masuk IGD yang sedingin kulkas. Inilah ruangan terdingin yang pernah saya masuki. Tubuh memang meriang tapi ini dinginnya beda. Saya benar-benar ringkih karenanya.

Saya diberi tempat duduk. Di sebelah sejarak 2 meter, ada seorang bapak berkacamata, memakai levis. Sendirian. Di tangannya terpasang infus dan batuknya mengganggu ruang IGD berukuran 8×5 meter. Ia kedinginan meminta AC diturunkan, tapi tak bisa, sebab AC-nya sentral.

“Tak bisa pak, alat-alatnya harus dalam kondisi dingin,” jawab petugas medis yang ternyata wanita, karena baju APD yang seragam susah membedakannya jika mereka belum bersuara.

Saya ditidurkan di sini, langsung diinfus, diambil darah lalu disuruh menunggu 1 jam, sebab kamar belum tersedia. Saat menunggu itulah batuk berbusa putih, untung belum sempat berdarah. Sakitnya kalau batuk-batuk itu terjadi; batuk terjadi lagi dan terjadi, demikian seterusnya.

Walau sakit yang tak tertahankan, saya memperhatikan sekeliling. Hanya ada dua petugas medis malam dini hari. Di lantai 5 RS. Royal ada dua suster perempuan dan satu dokter jaga. Dia duduk di meja, lantai 5 itu ada sederetan kanan kiri terdapat kamar-kamar kelas VIP dan kelas 1 (1 kamar berdua). Semua pandangan pasien IGD tanpa tirai itu rata-rata berumur separuh baya; ada beberapa anak-anak muda usia produktif yang sedang duduk memainkan laptop.

Satu jam sudah berlalu. Saya menunggu dengan pasrah. Tak bisa tidur, batuk terus saja bertalu. Dinginnya tak usah disebut. Dua selimut yang melekat di tubuh saja tak mampu meredam. Di sisi lain, walau dingin, anehnya baju ini sudah basah lagi. Keringat demam mengucur tak henti. Sudah hampir sepekan seperti ini saya alami.

Akhirnya sekitar pukul 16.30 WIB, kamar saya tersedia. Saya pasien terakhir di ruangan IGD. Sejak tadi, satu persatu pasien sudah pergi. Mereka mungkin sudah menunggu sejak pagi. Saya dibantu turun ranjang dan didorong dengan kursi roda. Perawat IGD itu bernama Santi, sebagaimana tertulis di punggung baju APD nya. Dia meletakan botol infus dan tabung oksigen di pangkuan saya dengan cekatan serta ransel saya serta barang-barang lainnya yang kubawa dari rumah berupa vitamin-vitamin.

Sambil mendorong kursi rodaku, seorang bruder juga menggotong semua bawaan saya. Sendirian. Padahal ransel saya dan dua tentengan besar yang isinya random itu agak berat. Kok tidak ada petugas lain ya yang membantu, kata saya dalam hati. Bukankah perawat IGD harus tetap standby di IGD. Atau setidaknya begitu pengetahuan saya yang selalu langganan rawat di RS tiap tahunnya. “Tidak kak, sudah SOP tim medis covid ya seperti ini. one person multy duty,” kata Santi yang terlihat kesusahan membuka pintu koridor ruangan dengan semua bebannya. Luar biasa, bisik saya.

Sepanjang lorong Rumah Sakit, semuanya berwarna putih. Saya seperti masuk ke lantai 5 dan lorongnya cukup panjang. Kursi roda berbunyi berderik dan bergoyang. Begitu pula dengan semua pembatasnya, semua perawat yang standby mengenakan baju APD dengan baju hazmat tim medis yang berlalu lalang. Saya seperti masuk ke sebuah laboratorium NASA.

Tiba-tiba dorongan kursi terhenti. Saya yang sesak nafas teramat dalam berpikir sudah sampai di depan kamar rawat. Ternyata saya diserahterimakan oleh petugas berseragam sama di tengah lorong. Sembari menunggu keduanya berdiskusi, saya perhatikan kamar ini bagus, nyaman; Oh Puji Tuhan. Banyak petugas medis yang bergerak cepat. Ada yang meletakan barang di pinggir koridor. Sesaat dia berlalu, petugas lainnya dari lorong sebelah mengambil barang tersebut. Mereka bekerja seperti semut tanpa banyak bicara, seakan-akan mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Mereka bekerja dalam diam. Sistematis sesuai dengan prosedur yang sudah digariskan dalam SOP.

Saya lihat ada tumpukan air mineral. Ada tumpukan kantong limbah medis dan lainnya. Setiap mereka mempunyai HP tablet yang telah disarungi plastik. Kadang mereka mengetik namun acap kali berkomunikasi dengan mode laudspeaker. “Ini Pak Budi langsung masuk kamar nomor: 517. Sementara bapak sendirian ya” sayup-sayup terdengar saat mereka berkoordinasi, tapi tubuh ini sudah tak bisa diajak kompromi. Sebentar lagi masuk sore, dan ingin mandi karena badan ini terasa lengket. Dingin, capai, kantuk dan sesak; konsentrasi tidak fokus. Saya batuk-batuk dan semakin sesak, jalan kian jauh. Sepi. Tak lama kemudian para suster perawat masuk ke kamarku, mereka membawa seperangkat perlengkapan medis. Saya ditensi, disuntik vitamin C dosis tinggi dan segenggam obat plus berbagai vitamin. Tak ingat lagi berapa banyak obat dan vitamin yang kutelan.

Makin Memburuk……..

Makin Memburuk
Saya dirawat dengan kapasitas untuk 2 pasien. Di sini, di ruangan yang sepi. Tak ada siapa-siapa. Yang ada mikrofon dan CCTV, ada sebuah TV kabel, akan tetapi tidak berminat untuk nonton, karena hanya untuk istirahat. Langit-langit putih, pintu dengan ada jendela kaca kecil tembus pandang tanpa tirai sebagai pengganti dinding dipasang mati. Sehingga perawat dan dokter dapat mengintip keadaanku, saya merasa nyaman, sehingga membuat hati ini menjadi lebih lega.

AC kembali menusuk. Badan saya tetap basah. Kerongkongan kering, bibir pecah. Batuk bertalu-talu. Dada perih, napas tersengal, amat sesak. Lalu pengecap rasa dan penciumanku hilang. Lengkap sudah ciri-ciri covid-19

Oksigen yang terpasang statis di dinding harus 24 jam terpasang di hidung. Karena itu, saya takkan bisa turun ranjang. Jika harus ke toilet saya harus bel perawat via intercom agar dilepas selang-selang itu untuk sementara waktu. Pertama kalinya dalam sejarah hidup, seperti ini, dan semoga ini yang terakhir. Perawatan pasien covid ternyata memang intensif, di luar dugaan.

Infus saya ditambah. Obat-obatan diberi tanpa jarak. Tensi dan oksidan dalam darah diukur dengan Oximeter, detak jantung, dikeker berulang-ulang. Suhu tubuh. Semua. Ditanyai, apa yang terasa. Suster mencatat. Jika ada 3 orang berbaju hazmat datang, itu salah satunya dokter. Dokter umum, atau dokter spesialis. Pasien diperhatikan sejak pukul 06.00 sampai pukul 01.00. Bahkan menjelang subuh pun mereka datang ke ruang perawatan kembali mencatat tensi, suhu dan saturasi darah.

Namun kadang Dokter masuk hanya lewat speaker pengeras suara kamar. “Pagi Pak Budijuwono, saya dokter Anda bagaimana kondisi Bapak hari ini?” Suaranya terdengar lantang dari intercom yang dipasang di atas dinding. Tapi, saya agak susah menjawabnya sebab suara saya parau dan terbata-bata. Saya jawab saja sekuat yang bisa.

Saya juga harus jeli membedakan, suster, pria, wanita, dokter, pemberi makanan, tukang sampah atau pembersih kamar. Ini, karena pakaian mereka sama. Putih dan menutupi sekujur tubuh, tak terlihat perbedaan profesi karena seragam. Pandangan mereka pun terhalang karena kacamata tukang las itu, berembun pula. Yang bisa dibedakan dari suaranya saja, jika bass ya laki-laki, jika sopran itu perempuan.

Batuk kian menggila apalagi kalau diajak bicara padahal saya tak ada riwayat TBC, jantung, paru. Saya pasrah, tak boleh menangis, tetapi beruntung saya tidak masuk ICU. Sementara teman saya harus masuk ke ICU, air matanya berderai, saya tidak tega melihatnya. Teman saya berusaha menolak, tapi dijelaskan dengan rinci. ICU itu berbeda dengan kamar perawatan. Ini satu ruangan untuk satu pasien. Mendengarnya saja sudah miris … semoga aku tidak menjadi penghuni di sana.

Darah saya beberapa kali diambil. Hampir tak ada lagi tempat untuk menusukkan jarum di tangan dan di kaki. Kini giliran mengambil darah vena. Lama suster mencari-cari dimana akan diambil. Beruntung urat darahku mudah dilihat dan dicoblos oleh jarum. Saya pasrah saja. Yang penting hasilnya menunjukkan kemajuan bahwa saya bisa cepat pulang dan beristirahat di rumah saja.

Belum habis kaget saya, karena saya diambil darahnya untuk pemeriksaan kimiawi darah tak lama berselang datang lagi seorang suster. Ia membawa kotak lain. Ini untuk merekam jantung dan paru. Meski para wanita, mereka sesuai job, melaksanakan tugas dengan professional. Tak peduli alatnya sebesar dan seberat apapun. Sambil dirontgen dan sambil rekam jantung, saya memberikan pujian kepada perempuan muda hebat ber APD itu. Tak lama keduanya pergi, meninggalkan saya yang nyaris tak percaya. Ada wanita muda bekerja seperti ini. Siapa yang tahu?

Sepi lagi. Inilah rasa sepi yang paling dalam. Saya ditemani bunyi alat-alat medis penyambung hidup. Dada seperti dikukus. Tiap batuk, dada terasa ingin meledak. Beruntung tidak sampai berdarah. Saya hanya berdoa dan berdoa agar penderitaan ini segera berlalu. Saya berharap tak ada bunyi-bunyian dalam nafas saya seperti orang berpenyakit bengek. Huft saya melamun terlalu jauh.

Tiba-tiba HP yang berbunyi. Meraihnya di meja dengan tangan terpasung alat saja susah bukan main. Namun, saya sangat merasa “tertolong”. Sebuah video call kawan-kawan SMA. Saya “terisi”, disaat sedang galau dalam ruang sempit yang putih. HP saya pegang bergantian dengan dua tangan. Tangan saya sudah bertali-tali infus, satu lagi, pakai saturasi, alat ukur detak jantung. Genggaman tangan tak sekokoh waktu sehat.

“Tetap semangat ya Bud. Kamu kan yang biasa tabah, pasti bisa kamu lalui. Kita punya agenda kumpul lagi bersama yang harus dieksekusi dan itu harus bersama-sama elu,” papar semua teman sekolah bergantian dengan whatsaap video. Saya seperti sedang berlari-lari lapangan basket sekolah dulu, tiba-tiba seperti kembali pada masa muda yang semangat dan riang. Bahkan ada yang mengirimkan tahu susur dan kopi hangat. Terima kasih kawan-kawan yang baik.

Tak hanya teman, kakak dan adik saya pun memberikan apa yang bisa mereka berikan. Termasuk barang-barang yang tak terbawa. Karena ini rumah sakit swasta, mereka bisa kirim via gojek paket online, tak seluruh keperluan pasien disediakan. Beruntung setiap hari dimanjakan dengan tawaran ganti sarung bantal, seprai atau selimut. Botol air mineral ukuran besar dan juga termos air panas serta tisu, handuk mandi yang bersih, dan peralatan mandi.

Dengan tepat waktu antar makanan 3 kali sehari. Kalau mau bicara tekan bel tapi datangnya memang agak lama, karena ruangan mereka jauh. Tak pernah mengeluh, yang sering malah saya. Mereka tak hanya mengganti pakaian saya, tapi juga alas kasur sarung bantal dan selimut.

Setiap pagi dan malam selalu berdoa dan berdoa, serta membaca kitab suci, kegiatan diisi dengan menulis di buku harian yang dikirimkan oleh sahabatku. Tidak ada yang lain kecuali nulis, doa dan tidur karena obat dan juga badanku tidak memungkinkan melakukan macam-macam kegiatan lainnya.

Puji Tuhan, pada hari ke delapan semenjak aku dirawat, hasil swab negatif. Saya sudah negatif, tapi ini corona. Corona itu, menikam paru-paru manusia. Membuat sarang di sana, melilitnya. Hingganya dokter specialis paru punya protokol, saya harus swab sekali lagi, untuk mengkonfirmasi bahwa saya sudah sehat dan bebas covid.

Bersambung ke artikel bagian ke-3…

Exit mobile version