Topcareer.id – Pandemi membuat semua sistem kerja di bidang apapun harus berubah menyesuaikan kondisi. Begitu pula reporter atau pewarta berita, yang di masa setahun pandemi ini ikut kebagian “ribet” dalam melakukan pekerjaannya untuk mencegah penularan Covid-19.
Sebelum pandemi, kerja reporter dituntut sering bertatap muka dengan banyak orang, mewawancarai narasumber, menggali sumber berita, mencari data, demi menghasilkan produk informasi yang berisi dan akurat untuk masyarakat.
Ketika pandemi, adaptasi besar-besaran pewarta terhadap penggalian informasi pun dilakukan. Namun, tetap saja ada celahnya.
Seperti yang dituturkan oleh Editor Heibogor.com (media lokal Bogor), Rahmawati Nasri yang sering terjun ke lapangan untuk liputan. Ia menyampaikan, saat awal pandemi melanda Indonesia, semua narasumber “menutup diri”, sulit dikonfirmasi atau dihubungi lantaran khawatir akan virus berbahaya ini.
“Awal-awal pandemi, kami (pewarta) sama sekali nggak boleh bertemu narsum, wawancara susah banget, sekalipun lewat telepon, by WhatsApp. Press conference benar-benar nggak ada, kami cuma dikirim rilis, seperti berita-berita pemerintahan,” kata perempuan yang akrab disapa Rahma ini, saat dihubungi Topcareer.id via sambungan telepon, Selasa (2/3/2021).
Karena terlalu sulit untuk dimintai keterangan dari beberapa narasumber, Rahma mengatakan hal itu akhirnya menciptakan banyak kesalahpahaman yang beredar. Berita atau informasi yang semula direncanakan bisa berimbang, malah jadi kacau.
Baca juga: Insinyur Ini Sukses Mendaur Ulang Sampah Plastik Menjadi Bata
Awal pandemi, membuat pekerjaan yang memang berhubungan dengan banyak orang ini perlu pintar-pintar mencari cara menyesuaikan kondisi. Keluhan terbesar adalah, sulitnya mencari atau mengkonfirmasi data dan informasi yang akurat.
“Bagaimana mau berimbang? Kami mau konfirmasi aja sulit, sedangkan berita tetap jalan terus. Pun kalau mau data itu harus konkret, sistem peliputan untuk media akhirnya diubah lagi dan itupun juga punya celah tersendiri,” ujarnya.
“Akhirnya mereka (narasumber) mau berbagi lewat WhatsApp, video call, mau kasih data lewat voice note. Kami desak-desak mereka mau tatap muka, tapi itupun hanya beberapa media saja dan dengan jarak tertentu,” jelas Rahma.
Sekalipun ada konferensi pers, lanjut Rahma, protokol kesehatan sangat dijaga ketat, terkait penggunaan masker, pengaturan jarak aman, dan fasilitas pendukung pencegahan penularan Covid-19. Selain itu, hanya media yang diundang yang boleh menghadiri konferensi pers, tidak seperti sebelum pandemi.
Selama proses liputan, pewarta diwajibkan memakai masker media 3 lapis. Jika masker tidak memenuhi persyaratan, maka tidak diperbolehkan liputan.
“Kami juga nggak boleh wawancara dengan merekam, jadi hanya boleh mengetik. Itu mengantisipasi droplet kan. Kalau masker kain itu juga nggak boleh, bahkan disuruh pulang,” tuturnya.
Ia menambahkan, hikmah dari pandemi ini bagi pewarta bahkan untuk semua profesi adalah lebih melek terhadap teknologi, dipaksa untuk cepat beradaptasi mengikuti kondisi dan perkembangan zaman. Hal lain yang tak kalah penting adalah lebih sadar akan kesehatan tubuh sendiri.
“Yang penting sekarang kita antisipasinya itu, 5M kita jalanin. Lebih menjaga daya tahan tubuh, kita enggak bisa sembarangan forsir tubuh untuk terus kerja, tapi akhirnya bawa impact jelek ke tubuh. Jadi rajin minum air putih, konsumsi vitamin C, minum herbal-herbal. Itu semua jadi habit baru,” tegasnya.**(Feb)