Topcareer.id – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Menurut keputusan MK, UU Ciptaker tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan bersyarat.
Ketua MK Anwar Usman membacakan langsung putusan ini dalam sidang hari Kamis, 25 November 2021.
MK meminta UU Ciptaker segera direvisi karena bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat serta bersyarat.
Perbaikan harus selesai dalam waktu 2 tahun sejak putusan tersebut resmi diumumkan.
Apa itu UU Cipta Kerja dan mengapa kontroversial?
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah sebuah undang-undang yang disahkan pada 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan resmi diundangkan pada 2 November 2020.
Tujuan dari UU Ciptaker ini guna menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dalam negeri dengan cara mengurangi persyaratan yang memberatkan.
Undang-undang ini populer dengan sebutan undang-undang sapu jagat atau omnibus law.
Sejak disahkan tahun lalu, UU Ciptaker banyak menuai kritik karena dinilai masih terlalu banyak poin yang merugikan hak-hak pekerja.
Tak hanya itu, UU Ciptaker juga sangat berpotensi meningkatkan deforestasi di Indonesia.
Alhasil, sejak awal terbitnya gagasan UU Ciptaker langsung banyak sekali aksi penolakan terjadi dari berbagai pihak.
Bulan Oktober 2020, banyak aksi unjuk rasa terjadi di berbagai daerah di Indonesia menentang undang-undang ini.
Jakarta, Jogjakarta, Semarang, Surabaya, dan banyak daerah lainnya serentak menggelar aksi menolak UU Ciptaker hingga berujung kericuhan.
Bahkan, di media sosial pun suara perlawanan ini sempat menjadi trending topic nasional dalam beberapa hari.
Kontroversi ini juga menjadi perhatian lembaga internasional seperti Konfederasi Serikat Buruh Internasional dan 35 lembaga investasi internasional.
Akademisi-akademisi di berbagai universitas di Indonesia pun banyak yang menolak UU Ciptaker karena dianggap cacat.
Baca juga: 45 Peraturan Pemerintah dan 4 Perpres Diterbitkan, Dukung UU Cipta Kerja
Apa saja yang harus direvisi dari Ciptaker
Yang pasti adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus direvisi dalam waktu dua tahun.
Selama proses revisi dalam 2 tahun ke depan Pemerintah juga dilarang membuat aturan turunan dan kebijakan turunan dari UU Ciptaker.
Menurut Ketua MK Anwar Usman, jika dalam tenggang waktu 2 tahun tidak dapat menyelesaikan perbaikan, maka UU atau pasal-pasal atau materi muatan UU yang dicabut oleh UU Nomor 11/2021 harus dinyatakan berlaku kembali.
Ketua MK juga menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam sidang putusan judicial review UU Cipta Kerja, Majelis Hakim MK menyatakan, penyusunan UU Cipta Kerja cacat formil.
Hal ini karena UU Ciptaker mengabaikan prosedur ideal penyusunan UU. MK pun langsung memerintahkan DPR dan pemerintah untuk segera memperbaikinya dalam dua tahun usai putusan tersebut terbit.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai ada beberapa hal yang mendesak untuk diperbaiki dari UU Cipta Kerja.
Perubahan diperlukan karena berpengaruh pada formula upah minimum yang terlalu kecil pada 2022.
Formula upah minimum ini sangat merugikan pekerja, bisa dilihat dari penetapan upah minimum di tahun 2022 hanya naik 1,09%.
Sementara itu, jika menaksir perhitungan kenaikan UMP menggunakan PP 78/2015 bisa mencapai hingga 5,17%.
Persoalan batas atas dan bawah upah minimum juga menjadi hal yang aneh dan perlu dihapuskan.
Permasalahan upah per jam, penghapusan aturan jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan besaran pesangon juga harus menjadi perhatian dalam revisi yang diminta MK.
Tak ketinggalan, klaster perizinan yang cenderung mengabaikan dampak terhadap lingkungan hidup juga sangat urgen untuk direvisi.
Jika tidak direvisi mengenai masalah penetapan upah dan regulasi ketenagakerjaan ini, ke depannya bisa memperburuk hubungan industrial di level perusahaan dan merusak produktivitas pekerja.**(Feb)