Topcareer.id – Dua ekonomi terbesar dunia yakni China dan Amerika Serikat (AS) jadi negara yang memiliki utang luar negeri paling banyak di dunia pada kuartal pertama 2022 karena utang global naik ke rekor di atas $305 triliun, sementara rasio utang terhadap output secara keseluruhan menurun, data dari Institute of International Finance (IIF) menunjukkan.
Utang China meningkat sebesar $2,5 triliun selama kuartal pertama dan Amerika Serikat menambahkan $1,5 triliun, data menunjukkan, sementara total utang di zona euro menurun untuk kuartal ketiga berturut-turut.
Analisis menunjukkan banyak negara, baik negara berkembang maupun maju, memasuki siklus pengetatan moneter.
“Ketika bank sentral bergerak maju dengan pengetatan kebijakan untuk mengekang tekanan inflasi, biaya pinjaman yang lebih tinggi akan memperburuk kerentanan utang,” kata laporan IIF.
“Dampaknya bisa lebih parah bagi peminjam pasar berkembang yang memiliki basis investor yang kurang terdiversifikasi.”
Hasil pada catatan Treasury 10-tahun benchmark telah meningkat sekitar 150 basis poin sepanjang tahun ini dan pada bulan Mei 2022 saja sudah mencapai level tertinggi sejak 2018.
Setiap Negara Harap Berhati-hati
Utang perusahaan di luar bank dan pinjaman pemerintah adalah sumber terbesar dari peningkatan pinjaman, dengan utang di luar sektor keuangan naik di atas $236 triliun, sekitar $40 triliun lebih tinggi dari dua tahun lalu ketika pandemi COVID-19 melanda.
Utang pemerintah meningkat lebih lambat pada periode yang sama, tetapi karena biaya pinjaman meningkat, neraca negara tetap berada di bawah tekanan.
Baca juga: IMF Ringankan Hutang 25 Negara Termiskin yang Terdampak COVID-19
“Dengan kebutuhan pembiayaan pemerintah yang masih berjalan jauh di atas tingkat pra-pandemi, harga komoditas yang lebih tinggi dan lebih fluktuatif dapat memaksa beberapa negara di dunia untuk meningkatkan pengeluaran publik lebih jauh untuk menangkal kerusuhan sosial,” kata IIF.
“Ini mungkin sangat sulit bagi pasar negara berkembang yang memiliki ruang fiskal lebih sedikit.”
Kurangnya transparansi juga menjadi beban bagi pasar negara berkembang, di mana total utang mendekati $100 triliun dari $89 triliun tahun 2021 lalu.
“Pertumbuhan diperkirakan melambat secara signifikan tahun ini, dengan implikasi buruk bagi dinamika utang,” kata laporan IIF.**(Feb)