Topcareer.id – Konsep ‘quiet quitting’ pada dasarnya berarti bahwa pekerja atau karyawan hanya akan melakukan tugas yang ditentukan dalam deskripsi pekerjaan (jobdes) mereka dan mengabaikan semua tanggung jawab atau tugas apapun di luar itu.
Setelah melewati masa ‘great resignation’ yang mendapatkan momentum pada tahun 2021 akibat pandemi COVID-19, ada fenomena di tempat kerja profesional yakni adanya perubahan pola pikir orang dalam memandang pekerjaan.
Beberapa ahli mengklaim bahwa ‘quiet quitting’ lebih efektif daripada resign, dan bisa meningkatkan kesehatan mental serta produktivitas kerja seseorang secara signifikan.
Apa itu quiet quitting?
Bagi banyak pekerja, pengunduran diri atau resign mungkin bukan pilihan, jadi beberapa karyawan berusia 20-30 an saat ini lebih memilih ‘quiet quitting’.
Menurut studi Deloitte, “kaum muda semakin mencari fleksibilitas dan tujuan dalam pekerjaan mereka, dan keseimbangan serta kepuasan dalam hidup mereka.”
Banyak dari mereka yang menolak gaya hidup untuk bekerja seperti angkatan tua yang mau disuruh mengerjakan tugas apapun.
Mereka ingin terus bekerja tetapi tidak akan mengizinkan tugas pekerjaan mengendalikan mereka.
Konsep ‘quiet quitting’ pada dasarnya berarti bahwa pekerja hanya melakukan tugas yang ditentukan dalam deskripsi pekerjaan mereka dan mengabaikan tanggung jawab apa pun di luar itu.
Karyawan juga menolak jam kerja yang lebih lama dan tetap berpegang pada waktu yang diperlukan untuk peran mereka.
Baca juga: Alami Tahun yang Sulit, Snap PHK Lebih dari 1.000 Tenaga Kerjanya
Gerakan quiet quitting ini akarnya ada di China, di mana hal ini mulai menjadi tren setelah posting online pada April 2021 silam menjadi viral.
Seorang pengguna internet di China mengkritik pola pikir negara itu yang memprioritaskan pekerjaan di atas kesejahteraan karyawan.
Di China ‘quiet quitting’ disebut sebagai ‘tang ping’ atau ‘lying flat’. Tren ini pun meluas ke negara lain di mana kini lebih dikenal sebagai quiet quitting.**(Feb)