TopCareerID

Hati-Hati, Lagi Nge-Tred Budaya Kerja “Berbaik Hati” yang Ternyata Toxic

Tempat kerja terbaik di Indonesia

Topcareer.id – Budaya kerja tentu punya pengaruh besar pada seberapa lama seorang karyawan bertahan di perusahaan. Lingkungan kerja yang beracun bahkan jadi salah satu penyebab terbesar The Great Resignation. Dan budaya kerja toxic bisa berbentuk “budaya berbaik hati.”

Menurut psikologi sosial, saat ini beberapa perusahaan beralih ke budaya ekstrem lainnya, yakni “culture of niceness” atau budaya berbaik hati yang bisa sama merusaknya dengan toksisitas. Kok bisa ya?

“Ya, ada dorongan besar seputar kesejahteraan dan kebaikan di tempat kerja, bersikap baik, empatik, dan peduli – di mana ini jelas merupakan sifat yang baik untuk dimiliki,” Tessa West, yang juga seorang profesor psikologi di NYU, dikutip dari laman CNBC Make It.

“Tapi yang akhirnya terjadi adalah, entah bagaimana kebaikan berlawanan dengan komunikasi yang jelas dan konfrontasi, bahkan ketika itu diperlukan.”

Sebagian besar dari kita akan setuju bahwa tempat kerja beracun berisi hal-hal seperti ketidaksopanan, tidak inklusif, tidak etis, kejam, atau kasar.

West mengatakan, kebalikan dari toksisitas, bagaimanapun, bukanlah pelangi dan sinar matahari – tetapi ruang yang aman untuk mengatakan feedback dan percakapan yang kritis.

Mengetahui cara menerima dan memberikan umpan balik yang jujur adalah “bahan yang sangat penting” untuk pengembangan karier, tambahnya. Bukan terus “berbaik hati” dalam hal apapun, yang pada akhirnya malah tidak menciptakan budaya kerja yang bertumbuh satu sama lain.

“Ada dikotomi yang salah: Jika Anda kritis, itu artinya Anda beracun. Kritik yang baik? Itulah yang diinginkan orang,” kata West.

Baca juga: Nggak Disuka Bos Di Tempat Kerja? Ini Yang Bisa Kamu Lakukan

Tanda-tandanya

Bagi West, tanda terbesar dari tempat kerja yang “terlalu baik” adalah ketika ada banyak “tawaran ramah”.

“Tawaran ramah yang sangat umum dapat diterapkan pada siapa saja, seperti ‘Mereka cantik. Mereka hebat untuk diajak bekerja sama.’ Mereka sebenarnya tidak mengatakan apa-apa,” jelasnya.

“Itu adalah tanda bahaya terbesar untuk budaya kebaikan di mana orang tidak merasakan keamanan psikologis untuk membicarakan kekuatan dan kelemahan.”

Ironisnya, kata West, cara terbesar untuk menghancurkan keamanan psikologis adalah melalui budaya kebaikan, karena kamu tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya dipikirkan orang.

Toxic bentuk ini, menurut Psikolog Wharton, Adam Grant, juga dapat menyebabkan keadaan biasa-biasa saja. Dan biasa-biasa saja adalah di mana individu menghargai hubungan di atas hasil, jelasnya dalam podcast.

“Dalam keadaan biasa-biasa saja, bahkan jika Anda melakukan pekerjaan yang buruk, Anda masih bisa maju selama orang-orang menyukai Anda.”

West menambahkan, budaya kebaikan juga bisa terjadi dalam bentuk agresivitas pasif, di mana niat buruk ditutupi oleh senyuman.

Atau lebih buruk lagi, jika manajermu terbiasa memberikan tawaran ramah, umpan balik kritis apa pun yang mereka terima dari C-suite akan “terasa seperti longsoran hal-hal negatif”.

Exit mobile version