TopCareer.id – Kepemimpinan perempuan masih menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya karena reaksi negatif pada konsep kesetaraan, keberagaman, dan inklusi (Diversity, Equity, and Inclusion/DEI), yang belakangan mendapat sorotan.
Hal ini terungkap dalam laporan Center for Creative Leadership (CCL) bersama dengan para mitra penelitiannya Institute for Human Resource Professionals, Prasetiya Mulya Executive Learning Institute (Prasmul-ELI), Society for Human Resource Management, Slingshot Group, dan XEd Space.
Riset ini mengambil data dari 894 responden survei dan 71 orang yang diwawancarai di seluruh Asia Pasifik (APAC).
Meskipun ada fokus yang semakin besar pada pengembangan kepemimpinan perempuan, kesenjangan signifikan tetap ada dalam representasi mereka di jabatan tertinggi di sektor swasta dan publik. Kesenjangan ini bukan karena kurangnya perempuan yang memasuki jalur karir, melainkan masalah kesetaraan.
Laporan ini pun mengungkapkan kesenjangan yang mengkhawatirkan dalam persepsi kesetaraan gender antara pria dan wanita, dengan memakai analogi bawang merah.
Di lapisan permukaan, 68 persen pemimpin percaya ada kesempatan pengembangan yang setara bagi pria dan perempuan, tapi analisis lebih dalam mengungkapkan cerita yang berbeda.
Di lapisan kedua, 55 persen pemimpin mengakui ada kesenjangan gaji berdasarkan gender di banyak tempat kerja, dan 42 persen pemimpin mengakui adanya pelecehan gender (lapisan yang lebih dalam).
Baca Juga: Ketimpangan Gender Bikin Perempuan Sulit Naiki Tangga Kepemimpinan
Laporan juga mencatat lima faktor utama yang menghambat pertumbuhan pemimpin perempuan, dengan faktor utama adalah harapan masyarakat terhadap perempuan untuk mengambil tanggung jawab keluarga lebih banyak, seperti yang dilaporkan oleh 66 persen pria dan 78 persen perempuan.
“Meskipun peningkatan fokus pada kepemimpinan perempuan memberikan harapan, namun laporan terbaru kami mengungkapkan adanya kesenjangan yang signifikan,” kata Elisa Mallis, Managing Director dan Vice President APAC, CCL.
Menurut Elisa, kurangnya keterwakilan perempuan di tingkat puncak menunjukkan adanya hambatan tersembunyi yang menghambat kemajuan mereka.
“Hambatan-hambatan ini sering kali berasal dari bias, mencakup ekspektasi masyarakat yang sudah dalam dan hambatan sistemik yang tidak kita sadari dan tidak terlihat secara langsung,” kata Elisa melalui siaran persnya, Rabu (10/7/2024).
Maka dari itu, mengatasi kesenjangan gender dalam kepemimpinan membutuhkan kolaborasi dari laki-laki, perempuan, dan organisasi untuk menghadapi ketidakadilan ini.
“Ini tidak hanya tentang keadilan, tetapi juga tentang mengoptimalkan potensi penuh dari semua sumber daya manusia untuk menciptakan masa depan yang lebih kuat dan lebih berkelanjutan bagi semua orang,” pungkasnya.
Pilihan yang terbatas dan kurang menguntungkan
Laporan juga menyatakan perempuan sering dinilai menggunakan standar kepemimpinan yang cenderung “maskulin”, membuat pilihan mereka terbatas dan kurang menguntungkan.
Dengan semakin banyak rumah tangga di Asia yang memiliki karier ganda, perempuan sering kali merasa terjebak dalam situasi “Kebuntuan Ganda” (Double-Bind).
Saat mereka mematuhi peran tradisional yang dikaitkan dengan gender, mereka sering kali dianggap “tidak cocok sebagai pemimpin.” Sebaliknya, jika mereka menyesuaikan diri dengan peran kepemimpinan, sering kali mereka dianggap “tidak menjalankan peran perempuan dengan baik.”
Akibatnya, banyak perempuan cenderung melakukan “Fleksibilitas Ganda” (Double-Flex), yaitu mengkompensasi dengan mengambil terlalu banyak tanggung jawab di tempat kerja dan di rumah, yang malah menyebabkan kelelahan dan pada akhirnya membuat banyak perempuan memilih untuk tidak mengambil satu peran kunci.
Kedua fenomena ini sebagian besar dipengaruhi persepsi masyarakat. Di Indonesia, 73 persen perempuan setuju harapan sosial menghambat mereka untuk menjadi pemimpin senior, dengan 60 persen pria yang setuju.
Sementara di Singapura, sementara 80 persen perempuan setuju harapan sosial merupakan penghalang, hanya 35 persen pria yang merasakan hal yang sama.
Keragaman lahan inovasi
Deddi Tedjakumara, Chief Executive Officer, Prasmul-ELI mengatakan, keragaman tak cuma aspek kehidupan yang tak terhindarkan, tapi juga lahan subur untuk inovasi.
“Mendorong dan mengelola keberagaman telah menjadi dan akan terus menjadi faktor vital untuk kesuksesan bisnis di masa depan,” kata Deddi.
“Oleh karena itu, diskusi dan penelitian tentang perempuan dalam kepemimpinan, sebagai bagian dari keragaman gender, menjadi menarik dan penting,” imbuhnya.
Sementara, Sutisophan Chuaywongyart, Partner, Slingshot Group mengatakan, hasil survei ini menjadi peringatan kuat yang mengungkapkan kebutuhan mendesak untuk mengatasi bias bawah sadar, norma budaya, dan tuntutan keluarga yang menghalangi perkembangan kepemimpinan perempuan.
“Perempuan dihadapkan pada banyak tantangan meskipun memiliki kemampuan yang luar biasa. Saatnya untuk merombak seluruh sistem guna memastikan kesetaraan yang sejati, sehingga pemimpin perempuan dapat maju tanpa hambatan yang tidak pantas,” kata Sutisophan.
Riset ini pun menegaskan laki-laki, perempuan, dan organisasi harus bersama-sama menjadi bagian dari solusi. Peran yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan saling terkait erat, dan hanya dengan pendekatan terpadulah akan diwujudkan perubahan yang nyata.
Organisasi juga perlu menciptakan budaya yang merangkul keragaman, memberikan kesempatan pengembangan profesional bagi perempuan, dan menerapkan proses sumber daya manusia yang netral gender.