TopCareer.id – Sayuti Melik, adalah salah satu orang yang punya peran di hari Kemerdekaan Indonesia, karena dialah juru ketik yang mengetik naskah Proklamasi.
Bernama lengkap Mohamad Ibnu Sayuti, Sayuti Melik lahir di Kadisobo, Rejodani, Sleman, Yogyakarta pada 25 November 1908. Ia adalah putra dari Abdul Muin alias Partoprawito dan Sumilah.
Sayuti bersekolah di Sekolah Ongko Loro di Desa Srowolan sampai kelas IV. Pendidikannya lalu diteruskan di Yogyakarta sampai mendapatkan ijazah. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru di Solo, namun sempat ditangkap Belanda karena dicurigai dalam kegiatan politik.
Mengutip esi.kemdikbud.go, sang ayah Partoprawito yang merupakan lurah di Desa Kadilobo, Sleman, dikenal berani dan sering mengkritisi kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dianggap menyengsarakan rakyat.
Baca Juga: Logo HUT ke-79 RI Diluncurkan, Ini Makna dan Filosofinya
Jelang remaja, Sayuti tertarik dengan isu-isu kebangsaaan dan rajin membaca buku, koran, hingga mengikuti diskusi yang menghadirkan tokoh berpengaruh. Salah satu tokoh panutannya adalah pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Pada 1920, ia bersekolah di Solo dan mulai membaca tulisan-tulisan Haji Mohammad Misbach, seorang muslim revolusioner. Sayuti juga berguru pada Haji Misbach.
Saat Belanda menduduki Indonesia, Sayuti keluar masuk penjara karena tulisan-tulisannya. Dia pernah dibuang ke Boven Digoel, Papua pada 1921-1933. Empat tahun kemudian dia dijebloskan ke penjara di Gang Tengah. Saat masih 16 tahun dia bahkan sempat jadi tahanan pemerintah kolonial di Ambarawa, Jawa Tengah pada 1924.
Tahun 1926, Sayuti Melik dituding terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh pemerintah kolonial.
Di 1936, Sayuti Melik saat itu pergi ke Singapura untuk merantau. Namun dia ditangkap pemerintah kolonial Inggris lantaran dicurigai terlibat dalam gerakan bawah tanah.
Usai lepas dari cengkeraman Inggris, Sayuti kembali ke Tanah Air pada 1937. Dia lalu bertemu Soerastri Karma (S.K.) Trimurti, jurnalis perempuan sekaligus aktivis pergerakan nasional yang kerap terlibat masalah dengan pemerintah kolonial.
Sayuti dan Trimurti lalu menikah dan tinggal di Semarang pada 1938. Keduanya juga merilis dan mengelola surat kabar bernama Pesat.
Di era pendudukan Jepang, surat kabar Pesat dihentikan penerbitannya secara paksa karena dianggap berbahaya. Sayuti dan Trimurti bahkan ditangkap oleh Dai Nippon.
Sayuti dan Trimurti dibebaskan pada 1943, atas permintaan Soekarno, yang merupakan kenalan lama Sayuti. Mereka sudah kenal sejak 1926, saat Soekarno merintis pembentukan Partai Nasional Indonesia, yang kemudian diresmikan tahun 1927 bersama sejumlah tokoh pergerakan.
Sayuti Melik tergabung dalam kelompok Menteng 31 yang beranggotakan para pemuda. Mereka mendesak “Golongan Tua” untuk memerdekakan Indonesia secepat mungkin, tanpa harus menunggu janji-janji Jepang, yang kala itu di ambang kekalahan dari Sekutu di Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia Kedua.
Pada 16 Agustus, Sayuti dan para pemuda lainnya membawa Soekarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok, untuk mendesak mereka segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Keduanya pun setuju dan kembali ke Jakarta malam harinya, untuk merumuskan naskah Proklamasi di rumah Laksamana Maeda.
Di situ, Soekarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo saling bertukar pandangan, serta merangkai kata-kata yang tepat untuk mengisi teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sementara, Sayutilah yang diminta mengetik naskah hasil rumusannya.
Sayuti Melik juga menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dia lalu ditunjuk untuk ikut andil dalam keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sejak 29 Agustus 1945. KNIP adalah Badan Pembantu Presiden yang merupakan cikal-bakal lembaga legislatif di Indonesia.
Namun saat Peristiwa 3 Juli 1946, Sayuti ditangkap pemerintah atas perintah Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin, karena dinilai terlibat kala itu. Kejadian ini disebut-sebut sebagai upaya makar pertama setelah kemerdekaan. Namun dalam pemeriksaan, Sayuti tidak terbukti bersalah, sehingga lepas dari dakwaan dan dibebaskan.
Pada 1948, Sayuti Melik kembali ditangkap Belanda dan ditahan di Ambarawa. Dia lalu dibebaskan pada 1950, setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia di akhir 1949, sesuai kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar.
Meski cukup dekat dengan Soekarno dan kerap dikait-kaitkan dengan paham kiri di masa lalu, Sayuti Melik justru menentang konsep Nasakom atau Nasionalisme, Agama, dan Komunisme yang kerap dilantangkan Bung Karno sejak 1956.
Selain itu, Sayuti juga tidak setuju jika Soekarno menjadi presiden seumur hidup, dan berbalik mengkritik PKI lewat tulisan-tulisannya.
Ketika Bung Karno menerapkan Demokrasi Terpimpin sejak 1959, yang membuat kekuasaannya jadi sangat kuat, Sayuti Melik pun ikut menentangnya. Meski begitu, dirinya tak sampai “disentuh” rezim Orde Lama, karena dia terkesan diacuhkan oleh Soekarno yang dulu cukup dekat dan bersahabat dengannya.
Usai Orde Lama lengser digantikan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, Sayuti mendapatkan jabatan sebagai anggota DPR/MPR dari Fraksi Golkar usai Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.
Sayuti Melik meninggal di Jakarta pada 27 Februari 1989 dalam usia 80 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.