TopCareer.id – Keluar dari pekerjaan atau resign di Jepang, tidaklah semudah yang dipikirkan. Sayangnya, lingkungan kerja di negara itu seringkali membuat pekerja sangat ingin mundur dari pekerjaannya.
Durasi kerja yang berlebih hingga beban pekerjaan yang bikin stres, jadi beberapa alasan pekerja di Jepang ingin mengundurkan diri.
Namun, resign kerap dinilai sebagai bentuk rasa tidak hormat, di mana pekerja di Jepang terkenal jarang pindah-pindah perusahaan bahkan sampai seumur hidup.
Dalam kasus lain, atasan akan menolak permintaan resign, bahkan memaksa karyawan untuk terus bekerja.
Baca Juga: Hindari 3 Detail Ini Saat Kamu Bikin Surat Resign
Baru-baru ini, muncul sebuah tren di mana seseorang menyewa agensi untuk membantunya mengundurkan diri dari perusahaan tempat kerjanya.
Mengutip Firstpost, Senin (9/9/2024), salah satu startup yang dianggap sebagai pelopor untuk agensi semacam ini adalah Exit.
Kepada Al Jazeera di 2023, co-founder Exit, Toshiyuki Niino mengungkapkan, ide ini awalnya muncul dari pengalamannya yang kesulitan mengundurkan diri dari tempat kerjanya.
“Mereka mencoba membuat Anda malu dan bersalah karena Anda mengundurkan diri dari pekerjaan dalam waktu kurang dari tiga tahun, dan saya mengalami masa yang sangat sulit (untuk mengundurkan diri),” ujarnya.
Baca Juga: Sederet Budaya Kerja Jepang yang Boleh Ditiru
Niino menyebut, banyak orang yang menghubunginya karena “mereka takut pada atasan mereka”, atau menghadapi perasaan bersalah. Exit bahkan disebut memiliki lebih dari 10 ribu klien setiap tahun.
Industri ini memang sudah ada sebelum pandemi, namun mulai meroket popularitasnya setelah Covid-19, ketika banyak orang kerja dari rumah dan mulai mempertanyakan soal kariernya.
Shiori Kawamata, manajer operasional Momuri, agensi resign di Minato, Tokyo, mengklaim mereka menerima hingga 11 ribu pertanyaan dari klien sampai tahun lalu.
Momuri sendiri bisa diartikan sebagai “saya tidak bisa melakukan ini lagi.”
Berbagai Bantuan yang Ditawarkan
Mengutip CNN, Momuri mengenakan biaya 22 ribu yen (sekitar Rp 2,4 juta) bagi pekerja full-time, untuk bantuan pengajuan pengunduran diri, negosiasi dengan perusahaan, hingga rekomendasi pengacara jika timbul masalah hukum.
“Beberapa orang datang kepada kami setelah surat pengunduran diri mereka dirobek tiga kali dan pemberi kerja tidak mengizinkan mereka berhenti bahkan jika mereka berlutut untuk memberi hormat,” kata Kawamata.
Ia menceritakan, mereka juga sering mendapatkan telepon dari orang-orang sambil menangis, bertanya apakah mereka dapat berhenti dari pekerjaanya dengan berbagai alasan.
“Kami memberi tahu mereka bahwa itu tidak apa-apa, dan bahwa berhenti dari pekerjaan mereka adalah hak pekerja,” kata Kawamata.
Kawamata mengatakan orang-orang yang menghubungi sering bekerja di bisnis kecil hingga menengah, dengan mereka yang bergerak di industri makanan jadi yang paling rentan, diikuti perawatan kesehatan dan kesejahteraan.
Japan Times melaporkan, permintaan untuk agensi bantuan resign meningkat setelah periode libur panjang di Jepang, dari 29 April sampai 6 Mei 2024. Momuri bahkan menerima 174 permintaan semacam ini sehari setelah masa liburan.
“Karena ada istilah ‘gogatsubyō,’ ada kecenderungan semakin banyak orang yang meminta pengunduran diri karena alasan psikologis, mengingat orang punya waktu beristirahat dan memikirkan berbagai hal,” kata Kawamata kepada Japan Times.
Berubahnya Pendekatan Generasi Muda
Hiroshi Ono dari Hitotsubashi University Business School, Tokyo mengatakan, tren agensi pengunduran diri yang naik dalam beberapa tahun terakhir, disebabkan karena berubahnya pendekatan kaum muda terhadap pekerjaan.
Ono mengatakan, Jepang sudah bergulat dengan kekurangan tenaga kerja yang dipicu oleh populasi yang menua dengan cepat, sementara angka kelahiran menurun.
Generasi muda pun kini punya lebih banyak suara di pasar kerja ketimbang pendahulunya.
Ono mengatakan, banyak dari mereka tidak lagi menganut pemikiran generasi tua bahwa seseorang harus melakukan apa pun yang diperintahkan kepada merekan terlepas dari sifat pekerjaannya.
Ono menambahkan, jika ada ketidaksesuaian harapan, mereka tidak akan ragu untuk berhenti.
Namun, kata Ono, bukan berarti berarti mereka ingin melangkah maju sendiri ke atasan dan berhenti dengan bangga, serta lebih suka membiarkan pihak ketiga yang menanganinya.
“Menurut saya, generasi muda saat ini lebih tidak suka berkonfrontasi,” kata Ono.
Dia juga mencatat, banyak orang yang kehilangan interaksi sosial di tempat kerja akibat pandemi, sehingga pekerja muda lebih memilih berhenti tanpa harus berkontak langsung dengan atasan mereka.