TopCareerID

INDEF Minta Pemerintahan Baru Tunda Kebijakan yang Bebani Kelas Menengah

Ilustrasi penyesalan karier yang berujung merugikan masa depan - pekerja stres (foto: Atahalla/Topcareer.id)

Ilustrasi pekerja kelas menengah stres (foto: Atahalla/Topcareer.id)

TopCareer.id – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mendorong pemerintahan yang akan datang untuk menunda kebijakan-kebijakan yang berpotensi membebani kelas menengah.

Menurut Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto, tren perlambatan konsumsi dan daya beli masyarakat harus jadi alarm bagi pembuat kebijakan atau pemerintah

“Sepertinya kalau saya lihat sampai akhir tahun tidak ada tanda-tanda perbaikan,” kata Eko dalam Diskusi Publik INDEF bertajuk Kelas Menengah Turun Kelas beberapa waktu lalu.

“Kemungkinan di triwulan empat nanti, tapi itu harus kita lihat konteksnya dari dua sisi, kalau Pilkadanya berjalan lancar terus kalau PHK-PHK yang marak terjadi bisa dihentikan,” imbuhnya.

Baca Juga: PHK di Jateng Tinggi, Upah Murah Bukan Solusi

Eko pun menyinggung adanya berbagai isu dan wacana terkait kebijakan administered price, atau kebijakan pemerintah yang mengatur harga barang atau jasa yang beredar di masyarakat.

“Kebijakan administered price-nya pemerintah itu semakin tidak terkoordinasi,” kata Eko seperti mengutip YouTube INDEF, Kamis (12/9/2024).

Tumpang tindih ini, kata Eko, terlihat dengan munculnya wacana subsidi tarif KRL berbasis NIK, hingga pembatasan subsidi dan penggunaan MyPertamina.

“Kalau kita lihat dari Tapera awal-awal itu. Hampir semuanya seperti mana duluan yang melempar wacana ini ke publik. Kalau publik diam maka kebijakan bisa jalan. Kalau publik kemudian bereaksi, baru dibahas agak detail,” kata Eko.

“Terus sampai pada pura-pura dihentikan tapi tidak ada legal formalnya untuk menghentikan itu,” imbuhnya.

Baca Juga: Demo Buruh di Jakarta, Minta Cabut PP Tapera

Ia mencontohkan Tapera yang kehebohannya menurun di publik, namun tanpa draf legal yang akan membatalkan aturan tersebut. Sehingga menurutnya, kebijakan ini tetap akan berlaku pada 2027.

“Belum yang lain PPN 12 persen ditempelkan di Undang-Undang HPP berlaku paling lambat Januari 2025. Tanpa ada yang membatalkan regulasi, itu kan tetap akan berjalan,” kata Eko.

Lebih lanjut, Eko mengatakan berbagai pajak atau iuran baru ini, termasuk wacana dana pensiun tambahan hingga asuransi wajib kendaraan, dapat memberatkan kelas menengah.

“Harusnya pemerintah perlu koordinasi, oke tidak semua bisa diselesaikan tanpa harus menaikkan harga, tapi harusnya ada cara-cara yang kira-kira koordinatif. Habis melempar isu di BBM, jangan ke dana pensiun,” kata Eko.

“Kelas menengah kan rasional. Kalau sudah tahu tahun depan tidak akan lebih baik dari hari ini ya mereka mulai irit, berhemat, kemudian mengevaluasi,” tambahnya.

Baca Juga: Subsidi KRL Berbasis NIK Jadi Wacana, Kelas Menengah yang Menderita

Eko pun memberikan meminta pemerintahan dan kabinet yang akan datang, untuk menunda kenaikan harga-harga barang dan jasa yang bisa dikendalikan pemerintah.

Menurutnya, jika pemerintah masih memaksakan mengais pendapatan lewat berbagai pungutan, daya beli kelas menengah akan turun, bahkan berisiko menurunkan kelas.

“Kalau jadi miskin, mereka akan dapat bansos. Jadi Anda tekan di atas dengan pungutan-pungutan itu tadi, Anda kena di bawah karena harus kasih mereka santunan,” kata Eko.

“Supaya itu tidak terjadi ya mohon ditunda saja isu-isu itu,” imbuhnya. “Jangan sampai suku bunga mulai turun, dunia bisnis tidak bergairah karena pungutan, pungutan, dan pungutan tadi.”

Exit mobile version