TopCareer.id – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan generasi muda untuk berhati-hati pada dampak FOMO (Fear Of Missing Out), YOLO (You Only Live Once), dan doom spending terhadap finansialnya di kemudian hari.
“Sekarang ada tren baru doom spending, belanja seperti besok mau kiamat,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi.
Doom spending berarti seseorang yang berbelanja cenderung impulsif seakan tidak ada hari esok, tanpa mempertimbangkan penting atau tidaknya suatu barang.
“Yang paling gawat adalah kadang-kadang belanjanya tidak pakai uang yang kita miliki, tapi pakai uang utangan,” kata Friderica dalam acara LIKE IT 2024 di Balikpapan, seperti mengutip YouTube Otoritas Jasa Keuangan, Jumat (11/10/2024).
Apalagi, saat ini akses ke layanan seperti pinjaman online dan pay later memudahkan anak muda untuk mendapatkan pinjaman, yang kemudian dibelikan barang-barang tidak produktif.
Baca Juga: Marak PHK, OJK: Waspada Penipuan Kerja Paruh Waktu
Selain itu, Friderica juga mengingatkan agar anak muda terlalu mudah untuk memberikan instant reward atau instant gratificiation ke diri sendiri.
Mengutip laman OJK, instant gratification merupakan perilaku untuk mendapatkan keinginan tanpa mencoba melakukan penundaan.
Perilaku tersebut perlu diimbangi dengan perilaku delayed gratification, yaitu menunda pemenuhan kesenangan saat ini untuk masa depan yang lebih baik.
“Kalau kalian sering baca ‘kita harus memberikan reward kepada diri kita sendiri.’ Sebenarnya oke, benar buat orang-orang yang sudah kerja setiap hari, capek, sudah punya penghasilan,” ujarnya.
“Tapi anak-anak muda yang belum berpenghasilan ya tidak usah instant reward untuk diri sendiri terlalu sering. Kalau nilainya bagus bolehlah kita pakai tabungan untuk membeli sesuatu, tapi ini jangan menjadi habit,” kata Friderica.
Baca Juga: Doom Spending Ancam Finansial Gen-Z dan Milenial, Apa Itu?
Friderica pun mengajak generasi muda untuk terus memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan secara bijak, sebagai bagian dari perencanaan keuangan ke depan.
“Literasi keuangan yang baik dan inklusi keuangan yang bijak akan menjadikan generasi muda yang cerdas mengelola keuangan, terhindar dari kejahatan keuangan dan dapat menjadi agen literasi di tengah-tengah masyarakat,” ujarnya.
Literasi keuangan bagi Gen Z menjadi hal yang penting, mengingat jumlah Gen Z yang mendominasi populasi Indonesia yaitu 27,94 persen dari total penduduk.
“Generasi muda diimbau untuk lebih bijak untuk menggunakan produk dan layanan jasa keuangan. Kemampuan membedakan antara need and want juga harus dimiliki agar terhindar dari pola hidup konsumtif,” pungkas Friderica.