Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

LifestyleSosok

Kala Sutradara Wregas Bhanuteja Bawa Wejangan Eyang Saat Buat Film

Wregas Bhanuteja dalam diskusi Refleksi atas Perjalanan Pemikiran Prof. Dr. Michael Sastrapratedja di Jakarta, Selasa (22/10/2024). (TopCareer.id/Giovani Dio Prasasti)

TopCareer.id – Sukses berkarier sebagai sutradara film, Wregas Bhanuteja selalu membawa pesan atau wejangan dari sang kakek, Profesor Michael Sastrapratedja atau dipanggil Romo Sastra, saat menggarap karya-karyanya.

Kepada TopCareer.id di Jakarta, Selasa (22/10/2024), ia mengatakan bahwa menurut eyang Romo Sastro, film harus memiliki suatu permenungan yang harus bisa direnungkan oleh penontonnya.

“Entah itu sifatnya yang bisa mengubah hidup kemanusiaan menjadi lebih baik, dan bisa mengubah perilaku manusia sekarang menjauhi kejahatan,” kata sutradara Penyalin Cahaya ini.

Baca Juga: Portal Perizinan Lokasi Film di Indonesia Majukan Industri Film di Era Digital

Pelajaran lain adalah bagaimana sebuah konflik dalam film dapat diikuti oleh penonton, sehingga mereka dapat merasakan atau mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh utama.

“Sehingga di ujung penonton bisa merasakan suka duka yang dirasakan dan bisa membawa pulang luapan emosi yang dirasakan tokoh utama,” ujar peraih penghargaan Canees Film Festival berkat film Prenjak ini mengungkapkan.

Wejangan lain, kata Wregas, adalah “film harus memiliki katarsis, pelepasan emosi.”

“Jadi ketika selesai menonton film, kita merasakan pelepasan emosi yang bisa diingat atau bisa mengubah perilaku kita ke depannya, menjadi lebih baik setelah menonton film itu, atau merenungkan segala sesuatu yang masih perlu didiskusikan,” kata Wregas.

Pamerkan Film ke Romo Sastrapratedja

Prof. Dr. Michael Sastrapratedja S.J, (Dok. Universitas Sanata Dharma)

Di diskusi “Refleksi atas Perjalanan Pemikiran Prof. Dr. Michael Sastrapratedja”, sutradara Budi Pekerti ini mengungkapkan, dirinya mulai tertarik di dunia film ketika masih SMP dan berusia 14 tahun, gurunya menggelar lomba film antar kelas.

Wregas menceritakan dulu dia dan kelompoknya pun memutuskan ikut lomba ini. Namun, kala itu Wregas ditunjuk sebagai aktor.

“Selama bikin film saya sering mengkritik sutradaranya, kok angle-nya begini, tata kameranya seperti ini, sehingga sutradaranya marah (bilang) ‘kamu saja yang menyutradarai,'” kata Wregas di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara., Jakarta.

Ketika mulai menemukan kenikmatan saat menyutradarai film dari karya kelompoknya, Wregas pun menceritakannya pada Romo Sastra. Film pertama yang ia sutradarai itu lalu ditunjukkannya, tapi mendapat balasan komentar: “Ra cetho (tidak jelas).”

Romo Sastra kemudian menyarankan Wregas untuk masuk ke SMA Kolese De Britto Yogyakarta, dan diminta untuk tidak terburu-buru untuk menentukan arah hidupnya.

Baca Juga: Gambaran Sulitnya jadi Sutradara Menurut Joko Anwar

Di De Britto, Wregas kembali aktif berkecimpung di produksi film pendek. Terlanjur jatuh cinta pada dunia ini pun membuatnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Sang ibu sempat menyarankannya untuk melanjutkan pendidikan di bidang seperti teknik industri atau mesin, mengingat latar belakangnya dari jurusan IPA.

“Di situ saya berkonsultasi ke Romo Sastra, beliau bilang ‘yang terpenting dalam menjalankan karyamu, utamanya adalah kamu harus suka dulu, kamu merasa nyaman, tidak merasa terpaksa, baru setelah itu enak menjalankan ke depannya.'”

Wregas lalu membuat banyak film pendek demi meluluhkan hati sang ibu, di mana ini berhasil dan membuatnya bisa melanjutkan pendidikan ke IKJ.

Film Harus Jadi Permenungan

Wregas Bhanuteja dalam diskusi Refleksi atas Perjalanan Pemikiran Prof. Dr. Michael Sastrapratedja di Jakarta, Selasa (22/10/2024). (TopCareer.id/Giovani Dio Prasasti)

Ketika menunjukkan salah satu film pendeknya yang berjudul Senyawa ke Romo Sastra, Wregas pun disarankan untuk menempuh pendidikan singkat ke STF Driyarkara, demi mendapatkan perspektif yang baru untuk karyanya.

Dari pembelajarannya, Wregas pun mencoba membuat film yang penuh muatan filosofi dari sisi estetika, agar disukai Romo Sastra. Namun ia hanya mendapatkan komentar: “Kowe ki arep ngomong opo? (Kamu itu mau membicarakan apa?)”

“Dia merasa saya hanya ingin memamerkan kemampuan dalam fotografi, artistik, simbol-simbol, tapi tidak membuat padu,” kata Wregas.

“Dia memberi usul ‘buatlah film yang ada konflik, karena konflik itu yang bisa membuat penonton merenungi kepribadian atau hidup dari karakter utama.'”

Dari situlah ia membuat Lemantun dengan membawa wejangan dari Romo Sastra, bahwa film tidak hanya sebagai hiburan, tapi juga ada sesuatu yang direnungkan oleh penonton setelahnya.

Film Lemantun itulah yang kemudian dipuji oleh Romo Sastra, bahkan membawa Wregas Bhanuteja menang film pendek di XXI Short Film Festival 2015.

Leave a Reply