TopCareer.id – Pakar menilai ada beberapa alasan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen, tetap berdampak ke kelas menengah dan bawah, meski pemerintah mengklaim kebijakan ini hanya diterapkan pada barang mewah.
Menurut ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, PPN yang tinggi untuk barang mewah menciptakan risiko bagi kelas menengah yang sedang berusaha meningkatkan taraf hidupnya.
Dia menyebut, kelompok menengah kerap menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Namun, mereka juga jadi yang paling rentan terhadap kebijakan fiskal yang kurang memperhatikan dampak lanjutan.
“Ketika harga barang yang dulunya terjangkau oleh mereka menjadi lebih mahal, daya beli kelompok ini akan melemah. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat mobilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi,” kata Achmad.
Baca Juga: Pakar: Dampak PPN 12 Persen Buat Barang Mewah Tak Cuma ke Orang Kaya
Selain itu, kelompok menengah sering menggunakan jasa atau produk yang berhubungan dengan barang mewah, baik secara langsung ataupun tidak.
Masyarakat kelas menengah mungkin menyewa kendaraan premium untuk acara tertentu, membeli barang elektronik untuk pekerjaan, atau menggunakan layanan hotel yang terkena tarif lebih tinggi karena dianggap barang mewah.
“Dengan kenaikan tarif pajak, pengeluaran mereka untuk kebutuhan ini akan meningkat, mengurangi kapasitas mereka untuk menabung atau berinvestasi,” kata Achmad keterangan tertulisnya, dikutip Selasa (10/12/2024).
Sementara pada kelompok masyarakat kecil, Achmad menyebut mereka akan mengalami “spillover effect.”
Di sini, ketika barang-barang yang terkait dengan barang mewah mengalami kenaikan harga, biaya hidup secara keseluruhan juga meningkat.
Misalnya, kenaikan tarif PPN pada kendaraan bermotor mewah dapat memengaruhi biaya logistik dan transportasi barang kebutuhan pokok.
Baca Juga: Gara-Gara PPN 12 Persen, Beban Gen Z dan Milenial Bakal Makin Berat
“Akhirnya, konsumen dari semua lapisan ekonomi harus membayar harga yang lebih tinggi untuk barang kebutuhan sehari-hari,” kata Achmad.
Selain itu, kelompok kecil atau kelas bawah juga seringkali bekerja di sektor-sektor yang mendukung konsumsi barang mewah. Jika permintaan barang mewah anjlok akibat kenaikan pajak, pekerjaan mereka pun bisa terdampak.
Sebagai contoh pekerja di industri perhotelan, catering untuk acara-acara besar, atau pedagang kecil yang berjualan di sekitar kawasan mewah, bisa kehilangan pendapatan jika konsumsi menurun.
Kebijakan Alternatif yang Lebih Adil
Achmad pun memberikan beberapa solusi lain. Ia mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan.
Pertama, pemerintah perlu menetapkan batasan yang jelas mengenai barang apa saja yang masuk dalam kategori mewah.
“Hal ini penting untuk menghindari kesalahan pengenaan pajak pada barang yang sebenarnya merupakan kebutuhan bagi masyarakat menengah,” kata Achmad.
Kedua, ketimbang menggunakan tarif flat 12 persen untuk semua barang mewah, pemerintah dinilai bisa memberlakukan tarif pajak progresif berdasarkan nilai barang.
Achmad mengatakan, makin tinggi nilai barang, makin besar pula tarif pajaknya. “Pendekatan ini akan lebih adil dan tidak terlalu membebani kelompok masyarakat menengah,” ujarnya.
Baca Juga: PPN Naik 12 Persen, Wakil Ketua DPR Khawatirkan Efek Domino
Ketiga, pemerintah perlu memberikan insentif bagi produsen lokal yang memproduksi barang serupa dengan barang mewah impor. Hal ini demi mengurangi dampak negatif dari kebijakan kenaikan PPN.
Menurut Achmad, hal ini tak cuma mendukung industri lokal, namun juga menyediakan alternatif yang lebih terjangkau bagi konsumen.
Terakhir, pemerintah perlu memastikan kebijakan ini tidak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu, untuk menaikkan harga barang secara tidak wajar.
“Pengawasan yang ketat harus dilakukan untuk menjaga keadilan dalam penerapan pajak,” pungkas Achmad.