TopCareer.id – Karyawan yang sudah menerima tawaran kerja namun malah tak datang di hari pertama kerja tanpa alasan atau career catfishing, jadi salah satu fenomena yang tak disukai perusahaan.
Fenomena ini sendiri banyak terjadi di kelompok muda seperti Generasi Milenial dan Gen Z.
Menurut The New York Post, survei dari platform pembuatan resume, CVGenius menemukan, 34 persen pekerja Gen Z atau berusia 27 tahun ke bawah, mengaku melakukan career catfishing.
Penelitian oleh tim dari Inggris ini dilakukan terhadap seribu pekerja dari berbagai generasi.
Fenomena ini dianggap sebagai penegasan independensi, serta respon terhadap frustasi karena proses perekrutan yang melelahkan, termasuk lamanya tahap melamar yang lama dan respon yang lama dari perekrut.
“Survei kami menemukan pekerja Gen Z, khususnya, melaporkan memilih cara-cara kreatif untuk mengutamakan diri mereka sendiri sebelum pekerjaan mereka,” kata survei itu, mengutip The Economic Times, Rabu (11/2/2025).
Selain Gen Z, survei juga menyebut milenial yang berusia 28 sampai 43 tahun, juga tidak sedikit yang membolos di hari pertama setelah menerima tawaran kerja.
Baca Juga: 7 dari 10 Orang RI Mau Pindah Kerja pada 2025, tapi Kerap Di-Ghosting Perekrut
Sementara, angka generasi sebelumnya hanya 11 persen untuk Gen X (44-59 tahun) dan 7 persen baby boomer (60 tahun ke atas).
Bagi Gen Z, perilaku ini mencerminkan pola pikir generasi yang lebih luas, yang lebih memprioritaskan tujuan dan kesejahteraan pribadi dibandingkan mengikuti ekspektasi perusahaan tradisional.
Menurut Astik Joshi, psikiater anak dan remaja di New Delhi, India, career catfishing mengacu pada pencari kerja yang menerima tawaran kerja, tapi sengaja tak datang di hari pertama tanpa memberi tahu pemberi kerja.
Ia mengatakan, hal ini karena Gen Z mencoba merombak aturan tempat kerja, karena sudut pandangnya terhadap struktur perusahaan tradisional berubah signifikan, karena mereka lebih mementingkan kesejahteraan daripada terlalu berkomitmen pada pekerjaan.
“Praktik penipuan ini melampaui job ghosting, karena juga mencakup kualifikasi palsu, melebih-lebihkan pengalaman, atau bahkan menggunakan identitas palsu untuk mendapatkan pekerjaan,” kata Joshi.
Baca Juga: Mengenal Brilliant Jerks, Pekerja Hebat yang Bikin Lingkungan Kerja Toxic
“Career catfishing telah menjadi hal umum di kalangan Gen Z dan Milenial, yang sedang menjalani pasar kerja kompetitif dengan proses perekrutan panjang dan sistem penyaringan otomatis yang sering kali mengutamakan kredensial daripada potensi,” imbuhnya.
Dari sisi psikologis, menurut Gorav Gupta seperti dikutip dari NDTV, tren ini didorong oleh imposter syndrome, ketidakamanan kerja, dan rasa takut ditolak.
Menurutnya, banyak kandidat merasa tertekan untuk meningkatkan resume mereka atau salah menggambarkan keterampilannya, agar sesuai dengan harapan pemberi kerja.
“Selain itu, frustrasi dengan norma perekrutan tradisional; seperti respon yang tertunda dan deskripsi pekerjaan yang tidak jelas, telah menyebabkan beberapa pencari kerja membenarkan taktik penipuan sebagai bentuk perlawanan,” ujar Gupta.
Joshi menambahkan, fenomena ini tak terbatas pada satu generasi. Menurutnya, bahkan eksekutif senior pun pernah melebih-lebihkan resume atau memberikan informasi yang kurang akurat, demi mendapatkan posisi lebih baik, pindah industri, atau tetap kompetitif.
“Hal ini menunjukkan bahwa penipuan karier merupakan masalah yang lebih luas di tempat kerja, bukan sekadar tren generasi,” kata Joshi.
Baca Juga: 3 Hal yang Diinginkan Gen Z dari Tempat Kerja di 2025
Meski menawarkan manfaat bagi jangka pendek, hal ini bisa berdampak panjang pada karier seseorang.
“Efek psikologis seperti kecemasan, stres, dan kerusakan reputasi jika penipuan tersebut terbongkar dapat dialami oleh karyawan tersebut,” kata Joshi.
Sebaliknya bagi pengusaha, praktik penipuan karier juga dapat mengakibatkan hilangnya produktivitas, lowongan kerja yang berkepanjangan, dan bahkan mengganggu jadwal perekrutan.
Gupta pun menegaskan, maraknya career catfishing menyoroti perlunya penyederhanaan proses perekrutan.
“Sementara para pencari kerja harus fokus pada memperoleh keterampilan nyata dan jejaring yang autentik, daripada menggunakan pernyataan yang keliru,” pungkasnya.