TopCareer.id – AI influencer atau influencer yang dibentuk dengan menggunakan artificial intelligence (AI), mulai menarik perhatian di tengah tren penggunaan kecerdasan buatan di berbagai sektor.
Persona virtual ini dirancang untuk membangun keterikatan dengan audiens, layaknya manusia.
Menurut laporan 2024 Influencer Marketing dari Sprout Social, 37 persen konsumen lebih tertarik pada sebuah brand apabila mereka menggunakan AI influencer.
Angka ini meningkat menjadi 46 persen di kelompok Gen Z. Namun di sisi lain, 37 persen konsumen juga mengaku lebih sulit mempercayai brand yang memakai teknologi ini dalam kampanye mereka.
Risa Kusumaningrum, Country Manager KIT Global Indonesia dan Vietnam mengatakan, sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Vietnam dan Singapura, mulai mengadopsi AI influencer untuk mendukung kampanye.
Baca Juga: Menkomdigi Sebut AI Paling Berdampak ke Pekerja Perempuan
Melalui keterangan tertulisnya, ditulis Jumat (21/3/2025), Risa menyebut tren serupa mulai terlihat di Indonesia meski masih dalam tahap awal.
“Di pasar yang semakin digital seperti Asia Tenggara, AI influencer bukan sekadar eksperimen, tetapi solusi strategis bagi merek yang ingin meningkatkan efisiensi sekaligus memperkuat daya saing mereka,” kata Risa.
Semakin menariknya AI influencer di mata konsumen juga dapat menimbulkan pergeseran pada dunia digital marketing.
Di beberapa negara, AI telah digunakan dalam kampanye olahraga dan hiburan. Penggunaan kecerdasan buatan terbukti mempercepat produksi konten dan mengurangi ketergantungan pada figur publik dengan tarif tinggi
“Dengan AI, satu model virtual bisa digunakan untuk berbagai format dan kampanye tanpa harus menghadapi kendala seperti jadwal atau negosiasi harga dengan influencer manusia,” kata Risa.
Hal ini juga berdampak pada branding. Saat sebuah perusahaan mengadopsi AI dalam strategi pemasarannya, ada citra inovatif yang melekat.
Baca Juga: LinkedIn: Tenaga Kerja RI Perlu Tingkatkan Keterampilan AI
Konsumen melihat merek tersebut sebagai entitas yang relevan dengan perkembangan teknologi, sehingga memperkuat daya saingnya di pasar.
Namun, Sprout Social menemukan, lebih dari sepertiga konsumen mengaku akan lebih sulit mempercayai brand yang menggunakan AI influencer dalam kampanye mereka.
Risa menilai, skeptisisme ini muncul karena faktor transparansi. Banyak konsumen yang belum terbiasa dengan konsep persona digital, yang menggantikan peran manusia dalam interaksi pemasaran.
“Tantangan utama AI influencer bukan pada teknologinya, tetapi bagaimana merek bisa membangun narasi yang tetap terasa dekat dan relatable dengan audiensnya,” kata Risa.
Aspek Emosional Manusia Masih Sulit Tergantikan
Meski mampu menghasilkan keterlibatan yang lebih stabil dibandingkan manusia yang popularitasnya naik turun, namun aspek emosional pada influencer manusia sulit tergantikan.
Di Indonesia, industri pemasaran masih dalam tahap mengeksplorasi AI influencer.
Meski sektor e-commerce, entertainment, retail, dan F&B di Indonesia mulai bereksperimen dengan live commerce berbasis AI, tapi adopsinya belum seagresif negara-negara lain.
Baca Juga: Era Post-Truth, Saat Influencer Lebih Dipercaya Ketimbang Pakar
Pendekatan hibrida atau menggabungkan AI dengan influencer manusia, kata Risa, bisa jadi solusi terbaik.
Dengan cara ini, brand tetap bisa memanfaatkan efisiensi teknologi AI tanpa sepenuhnya menghilangkan unsur humanis yang selama ini menjadi daya tarik utama pemasaran berbasis influencer.
“Sama seperti media sosial yang dulu sempat diragukan, AI influencer kemungkinan besar akan mengikuti jalur yang sama,” kata Risa.
“Namun, bagaimana teknologi ini diterima akan sangat bergantung pada bagaimana merek membangun koneksi yang tetap terasa autentik bagi konsumen,” pungkasnya.