TopCareer.id – Saat ini, banyak masyarakat yang mulai lebih percaya terhadap informasi dari influencer, alih-alih pakar di bidang tertentu.
Fenomena matinya kepakaran ini semakin terlihat di era post-truth, di mana berbagai disiplin ilmu kini seringkali kalah oleh informasi yang lebih populer dan sensasional, khususnya di media sosial.
Menurut Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Angga Prawadika Aji, ada dua faktor utama yang mendorong era post-truth, yaitu perkembangan politik dan popularitas media sosial.
“Keduanya kemudian mendefinisikan bagaimana post-truth menjadi sebuah fenomena yang menimbulkan banyak perdebatan. Salah satunya adalah apa yang disebut dengan matinya kepakaran,” kata Angga, dilansir laman Unair.
Baca Juga: 10 Kota Terbaik di Dunia Buat Workcation, Ada Jakarta
Dampak besar media sosial dalam menurunkan nilai keahlian pun jadi sorotan.
Menurut Angga, media sosial saat ini memberikan panggung bagi semua orang, tak peduli apakah mereka memiliki keahlian di bidang tertentu atau tidak.
“Seperti kata Umberto Eco, ahli semiotika. Media sosial kini menjadi sumber masalah besar,” ujarnya, dikutip Senin (11/11/2024).
“Orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas, tidak memiliki expertise kemudian suaranya memiliki bobot yang sama dengan orang yang selama bertahun-tahun memiliki dasar ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan,” imbuh Angga.
Baca Juga: Jaga Privasimu! Ini Tips Berbagi Foto di Medsos
Sebagai hasilnya, masyarakat sering menilai informasi berdasarkan jumlah likes, views, atau popularitas, ketimbang berbasis riset atau fakta.
Angga menegaskan, fenomena ini tak hanya mengaburkan batas antara fakta dan opini, tapi juga mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan di tengah masyarakat.
Ia menambahkan, media sosial berupaya untuk mengkuantisasi perhatian dan mengkuantisasi validasi.
“Sehingga, ketika kita melihat ada satu opini atau pandangan di media sosial, kemudian konten itu ternyata tidak memiliki like yang banyak. Kita secara otomatis memandang rendah hal tersebut,” kata Angga.
Ketergantungan Terhadap Sosok Populer
Kondisi ini jadi lebih parah dengan ketergantungan masyarakat terhadap sosok-sosok populer seperti influencer, untuk menafsirkan informasi yang mereka terima.
Angga mengatakan, saat masyarakat tak memiliki literasi digital cukup, mereka cenderung mempercayai sumber informasi yang familiar, termasuk influencer, tanpa mempertimbangkan validitas atau kapabilitas sumber tersebut.
Hal ini kemudian memicu echo chamber, yang kata Angga, terjadi saat masyarakat hanya mau mengonsumsi informasi yang sesuai keyakinannya saja, dan secara aktif menolak informasi yang berlawanan.
Baca Juga: Mengenal Vandalisme Digital di Media Sosial Menurut Pakar UNAIR
Kurangnya literasi dan kemampuan berpikir pun membuat masyarakat mudah termakan misinformasi, serta berita bombastis yang datang dari figur terkenal.
“Jika kita tidak segera memperbaiki literasi masyarakat, kita akan menghadapi generasi yang sulit membedakan antara opini populer dan fakta yang valid,” kata Angga.
“Pada akhirnya, ini bisa mengarah pada pembodohan massal. Di mana hanya popularitas yang dipandang sebagai ukuran kebenaran,” pungkasnya.