TopCareer.id – Pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2025 diprediksi masih di bawah lima persen, salah satunya sebagai imbas ketidapastian global akibat perang dagang yang sedang berlangsung, serta dampak dari gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Menurut kajian Permata Bank melalui Permata Institute for Economic Research (PIER) dalam Economic Review-nya, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan melambat dari 5,03 persen di 2024 menjadi 4,5 hingga 5 persen pada 2025.
Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi awal yang sebesar 5,11 persen.
Josua Pardede, Chief Economist Permata Bank mengatakan, pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal pertama 2025 yaitu sebesar 4,87 persen year-on-year (YoY), lebih rendah dibandingkan pada 5,02 persen pada kuartal sebelumnya, serta jadi laju paling lambat sejak kuartal tiga 2021.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang biasanya menjadi motor utama ekonomi melambat tipis menjadi 4,89 YoY. Hal ini didorong oleh melemahnya daya belanja pada sub-komponen makanan dan minuman serta transportasi dan komunikasi.
Baca Juga: Pakar Ungkap Daya Beli Turun dan Ancaman PHK Mengintai Pasca Lebaran
“Sekalipun ada seasonal factor yakni Ramadan dan Idulfitri, tapi ini tidak bisa mengangkat pertumbuhan ekonomi lebih cepat lagi,” kata Josua dalam konferensi pers pada Rabu (14/5/2025).
Josua menyebut, anjloknya daya beli juga disebabkan oleh tren PHK yang terjadi di masyarakat.
Ia menyampaikan, kecenderungan masyarakat untuk mengurangi pengeluaran di sektor otomotif salah satunya terlihat dari perubahan perilaku konsumsi, yakni beralih dari pembelian mobil baru ke mobil bekas yang dinilai lebih terjangkau.
Selain itu, beberapa hari libur panjang di bulan Mei-Juni 2025 dirasa tidak terlalu signifikan untuk meningkatkan daya beli.
“Kembali lagi kalau tadi tren dari sisi PHK di beberapa industri manufaktur padat karya itu cukup besar. Sehingga memang ini belum bisa mengangkat konsumsi rumah tangga,” ujarnya.
“Kami melihat yang lebih terpenting adalah bagaimana pemerintah bisa menciptakan lapangan kerja dalam jumlah yang besar, itu yang lebih penting lagi,” imbuhnya.
Baca Juga: Jobstreet: Rekrutmen Pekerja Diprediksi Lebih Aktif Walau Ramai PHK
Lebih lanjut, kata Josua, ketidakpastian perang dagang yang meningkat telah mendorong perusahaan untuk menunda investasi dan rencana ekspansi.
“Oleh karena itu, kami berharap pemerintah dapat merespons dengan kebijakan fiskal yang lebih ekspansif dan stimulus tepat sasaran, agar konsumsi dan investasi domestik kembali bergerak,” ujarnya.
Melemahnya investasi pada bangunan dan struktur serta mesin dan peralatan, dilaporkan juga berimbas pada turunnya pertumbuhan investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menjadi 2,12 persen YoY.
Di sisi lain, belanja pemerintah mengalami kontraksi 1,38 persen YoY setelah pada tahun sebelumnya terdongkrak aktivitas Pemilu, sementara ekspor barang dan jasa meningkat dengan didukung oleh kinerja ekspor nonmigas yang lebih kuat.
Sektor dengan Pertumbuhan Tertinggi
Di sisi sektoral, sektor pertanian mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 10,52 persen YoY, sebagai dampak dari lonjakan produksi tanamban pangan seperti padi dan jagung.
Sektor manufaktur yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional, tumbuh stabil sebesar 4,55 persen didukung kuatnya permintaan ekspor di industri logam dasar.
Sementara, sektor perdagangan ritel mencatat pertumbuhan positif sebesar 5,03 persen berkat momentum musiman Ramadan. Sektor jasa juga tetap solid didukung aktivitas pariwisata berkelanjutan.
Namun, sektor pertambangan mengalami kontraksi akibat aktivitas pemeliharaan di tambang emas dan tembaga, sementara sektor konstruksi melambat signifikan karena adanya realokasi anggaran pemerintah.
Baca Juga: Marak PHK, Puan Desak Negara Dampingi Pekerja yang Masuk Sektor Informal
Menurut PIER, adanya perang dagang akan berpengaruh pada pertumbuhan sektoral, meski dampaknya akan bervariasi.
Sektor dengan orientasi ekspor dan memiliki ketergantungan terhadap pasar Amerika Serikat yang relatif tinggi seperti tekstil dan garmen, kulit dan alas kaki, elektronik, furniture, dan produk karet, akan terdampak yang cukup signifikan dan dapat menurunkan pertumbuhan sektor tersebut di tahun 2025 ini.
Namun, sektor-sektor yang berorientasi pada pasar domestik seperti jasa dan perdagangan, diyakini masih akan menjadi motor utama pertumbuhan tahun ini.