TopCareerID

Pembentukan Satgas dan Dewan Kesejahteraan Buruh Dinilai Tak Sentuh Akar Masalah PHK

Ilustrasi perusahaan tidak boleh phk karyawan berdasarkan beberapa alasan tertentu. (Sumber foto: Freepik)

Ilustrasi perusahaan tidak boleh phk karyawan berdasarkan beberapa alasan tertentu. (Sumber foto: Freepik)

TopCareer.id – Lembaga Bantuan Hukum Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (LBH Sarbumusi) menilai pembentukan Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN) hanya respon jangka pendek, tanpa benar-benar menyentuh akar dari masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia.

LBH Sarbumusi sendiri menyebut bahwa PHK massal tengah melanda berbagai sektor di Indonesia, mulai dari manufaktur, digital, hingga tekstil dan startup. Ini tidak hanya mengorbankan para pekerja formal, tapi juga pekerja non-formal dan informal.

Brahma Aryana dari Departemen Kajian LBH DPP K-Sarbumusi mengatakan, krisis PHK bukan hanya soal statistik, tapi juga dampak sistemik yang menggerus kepercayaan masyarakat.

Pada Mei 2025, Bank Indonesia juga mengingatkan bahwa tren PHK bisa menjadi rem darurat bagi pertumbuhan nasional.

Baca Juga: PHK Buat Daya Beli Menurun, Ekonom Beri Saran Ini ke Pemerintah

Meski begitu, Brahma mengatakan, alih-alih mengevaluasi sistem ketenagakerjaan dan membenahi iklim industri, pemerintah secara reaktif justru kembali mengambil jalan pintas simbolik dengan menginisiasikan pembentukan Satgas PHK dan DKBN, atas dalih aspiratif menyikapi gelombang PHK.

“LBH Sarbumusi melihat respon pemerintah melalui pembentukan Satgas PHK dan DKBN sebagai langkah populis dan tidak menyentuh jantung persoalan struktural,” ujarnya melalui keterangan tertulis, dikutip Senin (23/6/2025).

Sarbumusi pun memiliki sembilan catatan terhadap inisiasi reaktif tersebut:

Menurut mereka, pembentukan Satgas PHK adalah gejala “sindrom satganisasi” yang merupakan respons populis jangka pendek untuk menambal masalah sistemik.

LBH Sarbumusi menilai hal itu mencerminkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap birokrasi yang sudah ada.

Lembaga ini menyebut bahwa karakteristik DKBN tumpang tindih dengan Lembaga Kerja Sama Tripartit, Dewan Pengupahan, dan Komite Jaminan Sosial Nasional.

Sementara, Satgas PHK menduplikasi kerja Pengawas Ketenagakerjaan dan mediator hubungan industrial.

“Langkah ini justru memperlemah kejelasan struktur dan memboroskan anggaran negara yang saat ini gencar melakukan efisiensi,” kata Brahma.

Adapun, pasal 175 dan 176 UU Ketenagakerjaan telah menetapkan pengawasan dan pembinaan ketenagakerjaan sebagai tugas pemerintah, melalui pejabat pengawas ketenagakerjaan pusat hingga daerah.

Gelombang PHK terjadi bukan karena lemahnya koordinasi, namun akibat kebijakan deregulatif pascaUndang-Undang Cipta Kerja, kontrak fleksibel tanpa batas, dan lemahnya sistem Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Mereka menilai, Satgas PHK dan DKBN tidak menyentuh akar persoalan ini, menjadikannya sekadar simbol tanpa daya perubahan struktural.

Baca Juga: Badai PHK di Industri Media, Komdigi Siapkan Langkah Lindungi Pekerja

Pembentukan Satgas PHK dan DKBN dianggap malah menambah rantai baru dalam birokrasi ketenagakerjaan. Keduanya dinilai tak memiliki posisi yang jelas fungsinya dalam rantai pengambilan keputusan.

“Pola ini jelas akan bertentangan dengan prinsip efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta berpotensi mengaburkan asas non-duplicity,” kata Brahma.

Dengan adanya organ baru, negara dianggap cenderung melimpahkan tanggung jawab kesejahteraan pekerja pada forum-forum ad hoc, ketimbang memperkuat peran regulator formal.

Solusi terhadap krisis PHK dan kesejahteraan buruh harus berbasis pada reformasi sistem pengupahan, perluasan jaminan sosial, penguatan pengawasan, dan keberpihakan anggaran.

Satgas PHK dan DKBN dinilai cuma menutupi absennya kemauan politik untuk melaksanakan reformasi tersebut secara menyeluruh dan berkeadilan.

Baca Juga: Pekerja Informal Naik karena Badai PHK, Pemerintah Wajib Beri Perlindungan Sosial

Menurut Brahma, Satgas tidak memiliki pendekatan psikososial terhadap buruh yang kehilangan pekerjaan. Padahal, trauma PHK sangat nyata dan bisa menjadi faktor pencetus kriminalitas.

Satgas dan DKBN yang dibentuk secara reaktif dianggap rawan gagal seperti lembaga ad hoc sebelumnya, karena minim akuntabilitas dan desain kelembagaan.

Karena tidak melibatkan partisipasi yang bottom-up dan mekanisme transparan, Satgas dan DKBN dianggap berisiko jadi alat legitimasi politik elit dan melemahkan gerakan buruh.

LBH Sarbumusi pun mendesak pemerintah segera mengevaluasi kembali keputusan pembentukan Satgas PHK dan DKBN.

“Prioritas utama seharusnya adalah penguatan kelembagaan Kemenaker, reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang substansial, perluasan jaring pengaman sosial yang memadai, dan pemulihan kepercayaan publik melalui transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran,” pungkas Brahma.

Exit mobile version