TopCareer.id – Work-life balance atau keseimbangan antara kehidupan personal dan pekerjaan, sering dianggap sebagai indikator penting karier yang sukses.
Pekerja milenial dan Gen Z pun dikenal sangat mengutamakan keseimbangan antara kehidupan pribadinya dengan pekerjaan.
Menurut survei Bankrate di 2023, sekitar sepertiga Gen Z dan milenial mengatakan faktor work-life balance seperti kerja yang fleksibel dan lebih banyak waktu istirahat, adalah kualitas terpenting dalam karier mereka ke depannya.
Faktor-faktor tersebut hanya berada di belakang gaji yang lebih tinggi, menurut survei tersebut.
Namun, Ranjay Gulati, profesor dari Harvard Business School, mengatakan bahwa “work-life balance” juga tidak selalu baik, bahkan menurutnya dapat menjadi tujuan yang “mengerikan dan menyesatkan” untuk diperjuangkan.
“Masalah utama saya dengan istilah ‘work-life balance‘ adalah istilah tersebut menempatkan pekerjaan berlawanan dengan kehidupan pribadi,” kata Gulati, mengutip CNBC, Selasa (22/7/2025).
Dengan pandangan seperti itu, Gulati merasa bahwa istilah ini berasumsi bahwa pekerjaan itu buruk dan kehidupan itu baik.
“Pekerjaan seharusnya tidak menyita waktu Anda, tetapi ketika Anda memperlakukan pekerjaan dan kehidupan sepenuhnya terpisah, secara implisit, Anda berkata, ‘Saya mati saat bekerja.'”
Baca Juga: Mau Karier Sukses? 5 Soft Skill Penting Ini Wajib Dimiliki
Karena itu, Gulati menjelaskan mengapa hanya fokus pada keseimbangan kerja dan kehidupan personal bisa kontraproduktif.
Menurutnya, menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan bukan hanya sulit dilakukan, tetapi juga tidak menjamin kebahagiaan.
Hal itu karena konsep work-life balance didasarkan pada asumsi yang salah bahwa pekerjaan dan kehidupan adalah dua entitas yang tidak berhubungan.
Bagi kebanyakan orang, pekerjaan dan kehidupan saling terkait, dan mencoba memisahkannya dapat menyebabkan kelelahan dan kurangnya kepuasan dalam karier Anda.
“Hal itu membatasi diri karena ketika Anda menganut keyakinan itu, pekerjaan hanyalah pekerjaan, tanpa makna selain gaji dan mungkin rasa berkuasa,” kata Gulati.
“Ada jauh lebih banyak bekal yang bisa kita peroleh dari pekerjaan kita ketika kita menemukan apa yang kita lakukan bermakna dan menghubungkannya dengan nilai atau minat pribadi,” kata Gulati.
Gulati memperjelas, Anda tidak seharusnya menghabiskan hidup hanya untuk pekerjaan. Sebaliknya, pertimbangkan kembali bagaimana berbagai aspek kehidupan bisa saling mengisi dan menumbuhkan energi positif.
Baca Juga: Survei: Makin Banyak Milenial dan Gen Z Menuntut Work Life Balance
Menurut Gulati, orang-orang yang “paling bahagia” tidak mencari keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka, melainkan harmoni.
Ia mengatakan, jika ada kesinambungan antara rutinitas pribadi dan profesional, Anda bisa menciptakan kehidupan yang lebih membumi dan memuaskan.
Misalnya, membentuk koneksi yang bermakna dengan rekan kerja adalah cara yang baik untuk lebih termotivasi di tempat kerja, begitu pula dengan menjadi sukarelawan untuk proyek yang memanfaatkan minat atau pengalaman pribadi Anda.
Gulati mengatakan, ada manfaat tak terbatas jika Anda bisa menemukan makna pada apa yang Anda lakukan.
Studi menunjukkan bahwa kenaikan gaji dan promosi lebih sering terjadi pada mereka yang menganggap pekerjaan mereka bermakna.
Terlebih lagi, studi tersebut menemukan bahwa para pekerja ini cenderung lebih tangguh, termotivasi, dan bekerja lebih keras daripada rekan-rekan mereka.
Dengan kata lain, menggabungkan kehidupan pribadi dan profesional dapat menghasilkan karier yang lebih bahagia dan lebih sukses.