TopCareer.id – Timpangnya pertumbuhan ekonomi versi Badan Pusat Statistik (BPS) dengan realitas sosial ketenagakerjaan masyarakat jadi sorotan anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi.
Nurhadi mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun 2025 versi BPS yang mencapai 5,12 persen, tidak sejalan dengan kondisi lapangan di mana terjadi peningkatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, stagnasi upah, dan minimnya lapangan kerja layak.
BPS sebelumnya menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 mencapai 5,12 persen secara tahunan (year on year/yoy), dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku sebesar Rp 5.947 triliun, dan atas dasar harga konstan Rp 3.396,3 triliun.
Angka ini meningkat dibandingkan kuartal I 2025 yang tumbuh 4,87 persen yoy, maupun kuartal II 2024 yang tumbuh 5,05 persen yoy.
Baca Juga: Tanda Rapuhnya Ekonomi, Tren Rojali-Rohana Jangan Jadi Candaan Semata
“Data tumbuh, tapi pekerja tumbang. Ini yang terjadi di lapangan. Kami menerima laporan PHK di sektor manufaktur, logistik, hingga digital. Pertanyaannya sederhana: pertumbuhan ini tumbuh untuk siapa?” kata Nurhadi, mengutip keterangan tertulis, Kamis (14/8/2025).
Menurutnya, narasi keberhasilan ekonomi yang disampaikan pemerintah harusnya tak berhenti pada angka-angka makro. Legislator Dapil Jawa Timur VI itu mengatakan, ukuran pertumbuhan sejati tidak hanya diukur dari PDB.
“Tetapi dari kemampuan keluarga pekerja memenuhi kebutuhan dasar seperti mencicil rumah, membeli bahan pokok, menyekolahkan anak, dan memiliki jaminan hari tua,” imbuhnya.
Nurhadi menambahkan, kondisi saat ini memperlihatkan krisis ketimpangan naratif, di mana pemerintah mengklaim keberhasilan ekonomi, namun banyak pekerja justru menghadapi ketidakpastian, kehilangan pekerjaan, dan daya beli yang melemah.
Baca Juga: Angka Penduduk Miskin BPS Dikritik, Jumlah Asli Dinilai Lebih Banyak
Kementerian Ketenagakerjaan dan BPS juga diminta untuk mengintegrasikan pelaporan data ekonomi dan ketenagakerjaan, sehingga publik mendapatkan gambaran utuh tentang arah dan dampak kebijakan ekonomi.
Ia juga meminta audit menyeluruh terhadap sektor padat karya yang terdampak gelombang PHK.
Selain itu, penting untuk mempercepat program pelatihan vokasi dan peningkatan keterampilan (upskilling) pada tenaga kerja, khususnya di sektor-sektor yang terdampak transformasi digital dan automasi.
Program Jaminan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) juga harus menjadi perlindungan nyata, bukan sekadar simbol kebijakan sosial.
“Jangan sampai pemerintah terlalu asyik dengan angka makro, tapi lupa bahwa yang paling penting adalah kualitas hidup rakyat. Rakyat tidak hidup dari statistik, mereka hidup dari upah, pekerjaan, dan rasa aman,” pungkas Nurhadi.