TopCareerID

Pakar: Jadi Pejabat Publik Harus Pandai Komunikasi dan Berani Minta Maaf

TopCareer.id – Buruknya komunikasi pejabat publik jadi salah satu yang dinilai menjadi pemicu aksi demo berujung ricuh belakangan ini.

Suko Widodo, dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) menyebut, gaya komunikasi yang kaku dan tidak empatik kerap memicu jarak antara pemerintah dan rakyat.

Suko mengungkapkan, komunikasi pejabat publik di tanah air masih jauh dari ideal. Banyak dari mereka yang terjebak dalam gaya komunikasi elitis, normatif, bahkan arogan.

“Publik sering merasa bukan diajak berdialog, melainkan digurui,” kata Suko, mengutip laman resmi Unair, Selasa (2/9/2025).

“Padahal dalam demokrasi, komunikasi pejabat publik mestinya menekankan transparansi, empati, dan partisipasi. Jika ini diabaikan, kepercayaan publik terhadap pemerintah melemah,” ujarnya.

Baca Juga: Pakar Psikologi Beberkan 9 Karakter Umum Tukang Bohong

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi lemahnya komunikasi pejabat publik. Salah satunya adalah masih kuatnya budaya politik feodal yang mengakar, serta pola relasi atasan-bawahan yang kaku membuat komunikasi bersifat satu arah.

Selain itu, masalah lain adalah kurangnya keterampilan dalam berkomunikasi.

Budaya minta maaf atau mengundurkan diri juga jadi sorotan. Menurut Suko, ini terkait dengan lemahnya akuntabilitas di Indonesia.

“Di banyak negara maju, meminta maaf atau mundur adalah bentuk tanggung jawab moral. Sayangnya, di Indonesia, mundur dianggap kelemahan. Padahal, langkah ini justru menjaga kehormatan pribadi sekaligus martabat lembaga,” kata Suko.

Akar masalah ini, kata Suko, terkait dengan kultur politik patrimonial dan oligarkis. Dalam tradisi ini, jabatan sering dipandang sebagai privilese, bukan amanah. Akibatnya, pejabat lebih berperan sebagai penguasa ketimbang pelayan publik.

Baca Juga: Kualifikasi Kerja Berubah di Era AI, Keterampilan Komunikasi Paling Diminati

Suko menegaskan bahwa ada empat hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki komunikasi publik seorang pejabat.

Pertama adalah membekali mereka dengan keterampilan komunikasi, termasuk listening skill dan crisis communication. Kedua, bangun budaya akuntabilitas sehingga meminta maaf atau mundur tidak dipandang lemah.

Ketiga, manfaatkan media digital untuk dialog dan transparansi, bukan sekadar pencitraan. Terakhir, berikan teladan komunikasi empatik dari pimpinan tertinggi agar nilai tersebut mengalir ke seluruh lapisan birokrasi.

“Jika empat hal ini dijalankan secara konsisten, pejabat publik bisa lebih dipercaya dan dekat dengan masyarakat. Komunikasi yang baik bukan hanya etika, tetapi juga kunci keberhasilan tata kelola pemerintahan,” pungkas Suko.

Exit mobile version