Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Tren

MK Batalkan UU Tapera: Berpotensi Timbulkan Beban Ganda Pekerja

MK nyatakan UU Tapera inkonstitusional dan tumpang tindih. (Dok: Mahkamah Konstitusi)

TopCareer.id – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi membatalkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).

Dalam Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024, MK menyatakan UU Tapera bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

“Menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5863) dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan a quo diucapkan,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan pada Senin (29/9/2025).

Mengutip laman resmi MKRI, Mahkamah menyoroti kewajiban pekerja menjadi peserta, demi menghimpun dan menyediakan dana jangka panjang seperti dalam Pasal 2 UU 4/2016.

Menurut mereka, ini menimbulkan kontradiksi dengan kemudahan yang dimaksudkan dalam UU 1/2011. Terlebih peserta Tapera termasuk di dalamnya pekerja dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

“Padahal tanpa wajib menjadi peserta, setiap pekerja juga sudah dapat mengakses layanan kepemilikan, pembangunan, dan renovasi rumah dari berbagai skema,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Mereka menilai kewajiban Tapera, apalagi disertai dengan sanksi, tidak hanya bersifat tumpang tindih (overlapping), namun juga berpotensi menimbulkan beban ganda, khususnya bagi kelompok pekerja yang sudah berkontribusi dalam skema jaminan sosial lainnya.

Baca Juga: MK Tolak Gugatan TOEFL Dihapus Buat Cari Kerja dan CPNS

MK juga menegaskan Tapera bukan satu-satunya instrumen, seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah memiliki akses ke skema perumahan PT Taspen Properti Indonesia (Taspro).

TNI, Polri, dan ASN di lingkungan Kementerian Pertahanan dan Polri juga bisa mengikuti program Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) atau Pinjaman Uang Muka Kredit Kepemilikan Rumah (PUM KPR) Asabri.

Di luar program tersebut, masyarakat juga punya opsi pembiayaan perumahan melalui berbagai skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang disediakan bank, di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan, Pasal 7 ayat (1) merupakan “pasal jantung” dari UU tersebut. karena menjadi dasar dari seluruh mekanisme Tapera.

Namun, jika kata ‘wajib’ diubah menjadi kata ‘dapat’ seperti yang diajukan pemohon, maka keseluruhan mekanisme Tapera kehilangan logika normatifnya.

Enny mengatakan, hal ini membuat sanksi jadi tak berdasar, kewajiban menyetor jadi tidak bermakna, da operasional kelembagaan Tapera menjadi tidak mungkin dijalankan.

“Oleh karena itu, perubahan redaksional semata hanya menimbulkan disharmoni internal, inkonsistensi antarpasal, serta ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” ujarnya.

Baca Juga: Rieke Diah Pitaloka ‘Oneng’ Minta Tapera Dibatalkan

Lebih jauh, Enny menyoroti Tapera pada dasarnya hanyalah skema tabungan. Pada akhirnya, uang peserta dikembalikan di masa pensiun atau setelah berhenti ikut.

Dengan pola seperti ini, Tapera tidak mampu memenuhi tujuan utamanya, yaitu memberikan akses masyarakat terhadap rumah layak dan terjangkau.

Dengan dibatalkannya Pasal 7 ayat (1), maka pasal-pasal lain yang sifatnya turunan otomatis kehilangan dasar hukum.

MK pun menyebut pemerintah perlu menata ulang desain pemenuhan hak atas rumah, misalnya dengan mengembangkan konsep perumahan publik (central public housing).

Model ini bisa menjawab persoalan keterbatasan lahan di perkotaan, sekaligus menyediakan hunian massal yang terjangkau dan berkelanjutan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

MK pun meminta pemerintah untuk menata ulang aturan ini. Menurut mereka, pembatalan secara tiba-tiba tanpa masa transisi bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan gangguan administratif dalam pengelolaan iuran maupun aset peserta, termasuk potensi risiko hukum terhadap entitas pelaksana seperti Badan Pengelola Tapera dan lembaga keuangan terkait

Leave a Reply