TopCareer.id – Fenomena job hugging atau seseorang yang terpaksa bertahan di pekerjaan meski tak lagi merasa bahagia atau produktif, belakangan jadi pembahasan.
Achmad Sjafii, dosen ekonomi ketenagakerjaan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga mengatakan, perubahan kondisi ekonomi yang dinamis membuat pasar kerja jadi lebih kompetitif.
Ini membuat banyak pekerja memilih berhati-hati dalam mengambil keputusan karier, termasuk menghadapi ketidakpuasan di tempat kerja.
“Sekarang mempertahankan pekerjaan saja sudah sulit, apalagi mencari yang baru,” kata Sjafii, mengutip laman resmi Unair, Selasa (21/10/2025).
“Jadi mereka berpikir sing penting iso mangan (yang penting bisa makan). Rasa aman itulah yang akhirnya membuat mereka bertahan,” imbuhnya.
Job hugging yang dilakukan pekerja juga sebenarnya bisa berdampak buruk pada perusahaan.
Baca Juga: Job Hugging, Kala Pekerja Ogah Resign Karena Takut Susah Dapat Kerja Baru
Menurut Sjafii, orang yang melakukan job hugging biasanya akan kehilangan motivasi dalam bekerja. Pekerjaan yang awalnya menjadi sarana pengembangan diri, berubah menjadi rutinitas monoton hanya untuk memenuhi kewajiban.
“Kalau seseorang tidak bahagia di pekerjaannya, kinerjanya pasti menurun. Kalau sudah begitu, performa kerja menurun, dan perusahaan pun ikut terdampak,” kata Sjafii.
Maka dari itu, dibutuhkan langkah bersama untuk menghadapi fenomena ini. Tanggung jawab tak cuma pada individu semata. Perusahaan dan pemerintah juga berperan penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang adaptif dan suportif.
Perusahaan perlu menyediakan program pelatihan serta pengembangan keterampilan secara berkelanjutan, agar karyawan tidak stagnan dalam pekerjaannya.
Dukungan terhadap peningkatan kapasitas tersebut akan membantu pekerja merasa lebih dihargai, sekaligus memberi ruang untuk berkembang.
Sementara, pemerintah dapat mendorong lahirnya kebijakan yang mendukung pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Ini bisa terwujud lewat penyediaan pelatihan kerja dan pemberian insentif bagi perusahaan yang berinvestasi pada peningkatan kompetensi.
Dibutuhkan juga kampanye kesadaran tentang pentingnya pengembangan diri di tengah pasar kerja yang terus berubah.
Baca Juga: Job Hugging Fenomena Lama, Pasar Kerja Tak Pasti Jadi Penyebab
“Pelatihan itu mahal. Kadang perusahaan tidak punya anggaran atau arahan strategis yang berjenjang. Kalau perusahaan tidak punya arah yang jelas, karyawan akan sulit berkembang,” kata Sjafii.
“Di sisi lain, pemerintah juga punya keterbatasan, karena anggaran pelatihan yang besar ketika dibagi ke berbagai program hanya bisa menjangkau segelintir orang,” dia menambahkan,
Tentu saja, perubahan juga tetap bergantung pada kesadaran individu.
Sjafii pun menegaskan bahwa perusahaan, individu, dan pemerintah harus bersinergi bersama, agar pekerja tidak sekadar bertahan, tapi juga bisa berkembang dan berdaya di tengah ketidakpastian ekonomi.
“Individu perlu proaktif meningkatkan keterampilan. Perusahaan harus punya kebijakan pengembangan SDM yang jelas, dan pemerintah perlu memperkuat dukungan agar tenaga kerja tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang,” pungkasnya.