TopCareer.id – Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie menyebut masih ada kesenjangan gender di bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM).
Hal ini ia sampaikan di acara L’oreal-UNESCO For Women in Science, di Graha Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Jakarta, Selasa (11/11/2025).
“Bukan karena kemampuan ilmiah perempuan lebih rendah dari laki-laki. Masalahnya adalah bias dan stereotip dalam masyarakat,” kata Stella, mengutip laman resmi.
Dia mengungkapkan, terdapat perbandingan 16,91 persen antara lulusan STEM laki-laki dan perempuan di Indonesia. Perbandingan terbesar ada di Uni Emirat Arab yaitu 32,14 persen, sementara terendah sekitar 0,95 persen di Turki.
Baca Juga: Misi Peneliti Derry Tanti Dorong Lebih Banyak Perempuan Terjun di Bidang STEM dan AI
Menurut Stella, hasil penelitian menunjukkan bahwa Curriculum Vitae (CV) yang identik akan dinilai berbeda hanya karena nama yang melekat di sana.
CV dengan nama laki-laki cenderung dianggap lebih produktif dan punya pengalaman yang lebih baik ketimbang nama perempuan, meski isinya identik. Stella mengatakan, ini membuktikan adanya bias yang nyata.
“Oleh karena itu, kami mendorong agar foto tidak dicantumkan dalam CV saat melamar pekerjaan, agar penilaian objektif berdasarkan kompetensi, bukan penampilan atau stereotip,” kata Stella.
Menurut Wamendikti, penelitian juga mencatat ada bias dalam mentoring akademik, gaji awal, dan peluang karier bagi perempuan.
Baca Juga: Menkomdigi: Perempuan Jadi Kekuatan Ekonomi Digital RI
Bahkan, di era kecerdasan buatan (AI), bias gender masih muncul karena algoritma dilatih dengan data yang mencerminkan ketidaksetaraan gender di masyarakat.
“AI bukan solusi otomatis untuk bias gender. Jika data yang digunakan sudah bias, maka AI justru dapat memperkuat bias tersebut,” ujarnya.
Untuk itu, Stella menegaskan dibutuhkan kesadaran akan stereotip gender dan hambatan sosial, memahami data dan sains tentang perempuan dalam STEM, serta menghapus diskriminasi dalam sistem pendidikan dan tenaga kerja.
Kesadaran ini tak hanya penting bagi keadilan sosial, tapi juga untuk efisiensi ekonomi nasional, karena tidak memaksimalkan potensi kompetensi seluruh warga negara berarti membuang-buang talenta yang ada.













