TopCareer.id – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian menyebut bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 tahun 2025 tentang Pengupahan yang berisi kenaikan upah minimum, berpotensi memperlambat pertumbuhan industri.
Menurut Kadin, PP ini bisa menimbulkan tantangan serius bagi laju pertumbuhan industri pengolahan nonmigas.
Kebijakan tersebut dinilai menghadirkan trade-off antara upaya memperkuat perlindungan pendapatan pekerja dan percepatan pertumbuhan sektor industri, khususnya manufaktur nonmigas yang selama ini jadi tulang punggung perekonomian nasional.
Saleh Husin, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian menyebut, PP Pengupahan baru berpotensi mempengaruhi kinerja industri lewat tiga jalur utama: biaya produksi, iklim investasi, dan dinamika penyerapan tenaga kerja.
Sebagai kontributor utama terhadap produk domestik bruto (PDB) industri serta ekspor manufaktur nasional, sektor industri pengolahan nonmigas dinilai sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan pengupahan.
Baca Juga: PP Kenaikan Upah 2026 Sudah Diteken Prabowo
Saleh mengatakan, PP Nomor 49 Tahun 2025 berpotensi menimbulkan trade-off antara perlindungan pendapatan pekerja dan percepatan pertumbuhan industri pengolahan nonmigas.
“Tanpa kebijakan pendukung yang kuat, pertumbuhan sektor ini ke depan berisiko bergerak lebih lambat dibandingkan potensinya,” kata Saleh, mengutip siaran pers, Senin (22/12/2025).
Menurut Saleh, peningkatan upah minimum, baik melalui perluasan rentang indeks penyesuaian maupun pengenalan upah minimum sektoral, cenderung meningkatkan biaya tenaga kerja secara struktural.
Dalam jangka pendek hingga menengah, kenaikan biaya ini berisiko menekan laju pertumbuhan output industri nonmigas, terutama pada subsektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan produk manufaktur berbasis ekspor.
Saleh menambahkan, kondisi ini akan mendorong pelaku usaha lebih berhati-hati dalam melakukan ekspansi kapasitas produksi, atau merekrut tenaga kerja baru.
Strategi penyesuaian yang umumnya ditempuh perusahaan cenderung fokus pada efisiensi operasional, otomasi terbatas, hingga rasionalisasi tenaga kerja.
Dampaknya, kontribusi sektor industri nonmigas terhadap pertumbuhan ekonomi nasional berpotensi tidak optimal.
Baca Juga: Asosiasi Serikat Pekerja Minta Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan UMP 2026
“Dalam situasi biaya tenaga kerja yang meningkat secara struktural, pelaku industri akan lebih fokus menjaga efisiensi. Ini bisa membatasi ekspansi dan pada akhirnya menahan laju pertumbuhan sektor industri,” kata Saleh.
Sementara dari sisi investasi, perubahan kebijakan pengupahan yang relatif sering memicu ketidakpastian bagi investor. Kondisi tersebut berpotensi menahan realisasi investasi baru di sektor industri pengolahan nonmigas.
Saleh mengatakan, investor cenderung menunda keputusan investasi atau mengalihkan modal ke sektor maupun wilayah dengan struktur biaya yang dinilai lebih stabil dan prediktabel.
Jika kondisi ini berlanjut, laju pembentukan modal tetap bruto (PMTB) di sektor manufaktur dapat melambat.
Dalam jangka menengah, perlambatan investasi tersebut berisiko menurunkan potensi pertumbuhan industri nonmigas, terutama jika tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja dan adopsi teknologi yang lebih efisien.
Di sisi lain, Saleh mengakui kebijakan pengupahan ini juga berpotensi mendorong pertumbuhan dari sisi permintaan melalui peningkatan daya beli pekerja industri.
Baca Juga: Kemenperin Sebut Minat Generasi Muda Kerja di Industri Makin Tinggi, Ini Buktinya
Namun, efek positif tersebut dinilai bersifat bertahap dan tidak langsung. Sebaliknya, dampak kenaikan biaya produksi akibat penyesuaian upah minimum dirasakan secara lebih cepat dan langsung oleh pelaku industri.
“Akibatnya, dalam jangka pendek, efek bersih terhadap pertumbuhan sektor industri pengolahan nonmigas berpotensi moderat hingga cenderung menahan laju pertumbuhan, terutama pada subsektor yang berorientasi ekspor dan menghadapi persaingan global yang ketat,” ujar Saleh.
Kadin pun menilai agar PP Pengupahan dapat berjalan seimbang antara kepentingan pekerja dan keberlanjutan industri, pemerintah perlu melengkapinya dengan kebijakan pendukung yang kuat.
Kebijakan tersebut antara lain mencakup peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui pelatihan dan vokasi, pemberian insentif investasi industri, serta penguatan rantai pasok domestik agar biaya produksi dapat ditekan.
“Tanpa langkah-langkah pendukung tersebut, industri pengolahan nonmigas berisiko kehilangan momentum pertumbuhan, padahal sektor ini sangat krusial untuk penciptaan lapangan kerja dan penguatan struktur ekonomi nasional,” tegas Saleh.
Kadin pun berharap agar implementasi PP Pengupahan bisa dilakukan dengan hati-hati dan disertai pendukung yang konsisten, sehingga peningkatan kesejahteraan pekerja tidak memperlambat pertumbuhan industri dan mengurangi daya saing manufaktur.












